Jumat, 11 November 2016

DIXA’S JOURNEY: GOES TO ROBO-WORLD (PART 1)

Halo… Balik lagi ke ceritanya si bocah Dixa. Kali ini, si Dixa sudah 14 tahun, lho. Tapi, temannya masih itu-itu aja. Jason, Yuri, dan Rill. Kakaknya juga, si bawel Miyako. Iyalah, silahkan dibaca!
Kejadian menyakitkan itu masih terekam di otak Dixa dan Miyako sampai sekarang. Kali ini, Dixa mencoba memutar kembali rekaman kejadian itu.
Malam itu, keluarga Dixa sedang menonton TV. Dan tiba-tiba, suasana malam Minggu yang seharusnya cerah di luar berubah menjadi gelap gulita. Ayah Dixa, Kenny, membuka pintu dan melihat apa yang terjadi di luar. Ibunya Dixa, Dina, juga keluar bersama Miyako dan Dixa. Rupanya, ada seorang anak kecil dengan kegelapan luar biasa yang ada di belakang tubuhnya.
Ia memakai baju dan celana putih dengan simbol bayangan di dadanya. Mata dan hidung anak itu tertutup oleh rambutnya yang mengkilat seperti besi. Kulitnya juga mengkilat, sebagaimana besi.
“Siapa kau?” tanya Kenny.
“Halo, keluarga Katanede. Kalian bernama Kenny Katanede, Dina, Katanede, dan Miyako Katanede. Tapi, hanya ada satu, anak bungsu yang bernama berbeda dengan kalian. Ishida Dixa. Yap, siapa lagi yang memberi nama berbeda itu jika bukan Miyako?” kata anak aneh itu.
“Bagaimana kau tahu semuanya tentang kami, nak?” tanya Dina.
“Oh… Itu mudah. Karena, aku tahu semua anak di Machine City ini yang memiliki kekuatan super. Dan aku menangkap setiap orang tua anak berkekuatan super itu untuk dijadikan tahanan penjara. Lalu anaknya, setelah besar nanti akan dilacak oleh pesuruhku untuk dibunuh langsung olehnya,” sahut anak itu. Keheningan terjadi sejenak.
“Kenapa kau bilang begitu pada kami?” tanya Miyako.
“Karena… Kalian memiliki kekuatan super, anak kecil! Kau tahu? Aku sudah menangkap keluarga Blue, keluarga Kuzenkov, keluarga Sania, dan keluarga Ray! Anak-anak mereka memiliki kekuatan super, dan kalian juga!” katanya.
“Keluarga Ray? Bukankah keluarga Ray adalah pemilik dari hotel, motel, apartemen, dan resort terkenal di kota ini? Bukankah dia memiliki anak lelaki yang polos? Apakah anaknya memiliki kekuatan?” tanya Kenny.
“Ya! Putra tunggal dari keluarga Ray memang memiliki kekuatan!” sahut anak itu.
“Memang siapa namamu, anak aneh?” tanya Dixa.
“Shadow Ninja-Bot… Atau kalian boleh panggil aku SNB. Aku bukanlah manusia, melainkan aku adalah sebuah robot yang dirancang dalam bentuk manusia. Dan aku tinggal di Robo-World, nak! Di dunia robot itulah, orang tua kalian akan ditahan selamanya, dan itulah dunia yang tidak bisa ditemukan oleh manusia!” kata SNB.
“SHADOW TRAP!” kata SNB. Jebakan bayangan berbentuk kotak itu menjebak orang tua Dixa. Samar-samar terlihat bayangan mereka yang meminta pertolongan kepada anak mereka yang tidak berdaya tersebut. Mereka tak tahu apa yang robot itu bicarakan. Kekuatan? Apakah selama ini mereka terlahir dengan kekuatan? Entahlah. Mereka tak tahu apapun, dan hanya bisa menangisi kepergian orang tuanya.
SNB lenyap bersama dengan orang tuanya.
“Ibu… Ayah… Huwwaahh…” tangis Dixa. Miyako mengajaknya masuk ke dalam rumah. Itulah awal kejadian kenapa mereka hanya hidup berdua saja.
ooo0ooo
Dixa meringkuk di atas kasurnya. Dia sudah tak sanggup lagi membayangkan kejadian itu. Matanya sembap. Air matanya hampir mengalir. Tapi, sudut matanya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06.15. Beberapa menit lagi, bel sekolahnya akan berdering.
“Waah! Tidak! Aku pasti telat! Miyako sudah berangkat ke sekolah, kan?!” jerit Dixa.
ooo0ooo
Sepeda gunung Dixa yang dikendarainya berderit. Berisik sekali. Di pertengahan jalan… sepeda itu tidak bisa bergerak sama sekali. Dixa heran. Ia melongok ke bawah. Rantainya lepas.
“Aarrgghh! Dasar pengganggu! Siapa suruh rantai lepas di tengah jalan, sih? Hiih! Sebal!” gerutu Dixa. Tiba-tiba, sekelebat bayangan muncul menghalangi sinar matahari pagi yang menerangi Dixa. Dixa menoleh ke atas.
“Kau butuh bantuan, sob?” tanya orang itu.
“Uh… Tentu,” sahut Dixa. Orang itu membantu Dixa memasang rantai sepedanya. Dia belum dewasa, masih muda. Seumuran Dixa. Dia berambut hitam, memakai jumper abu-abu dengan tulisan “Greyman” di dadanya, juga celana jeans biru dengan sepatu warrior merah.
“Kau itu masih SD atau SMP?” tanya Dixa.
“Tidak, aku sudah SMP, tapi, aku bersekolah keduluan satu tahun. Jadi sekarang, usiaku 15 tahun walaupun masih kelas 2 SMP,” sahut orang itu.
“Lalu… Kau bersekolah dimana?”
“Di SMP Pegasus. Kau juga bersekolah di SMP itu, kan?”
“Kau benar. Aku bersekolah di SMP Pegasus. Tapi kok, kita tidak pernah bertemu, ya? Kau ada di kelas mana, sih?”
“Nanti kau juga akan mengerti, Dixa,”
“Huh? Darimana kau tahu namaku?”
“Mudah saja. Itu… Nametag di dadamu,”
“Oh, biar aku baca nametag…” kata Dixa terputus, dan orang itu langsung berlalu pergi. Dixa membaca sekilas nametag orang itu, tapi tidak terlalu teliti. Nama depannya berinisial S, tapi Dixa tidak tahu apa artinya. Nama belakangnya Ray. Ray? Haruskah Dixa memanggilnya Ray?
“Ray! Tunggu!” teriak Dixa. Tapi sepertinya, Ray tidak menghiraukannya. Dixa kembali mengayuh sepedanya yang rantainya sudah kembali terpasang dan mengejar Ray yang berlari sangat kencang itu. Tapi, Ray menghilang begitu saja.
“Ah, biarlah si Ray itu. Paling nanti aku juga bertemu dengannya di sekolah,” gumam Dixa. Sekolahnya berjarak 200 meter dari rumahnya. Cukup jauh, dan hampir mendekati pusat kota Machine City. Dari kejauhan, ia melihat sebuah gedung yang terletak di pusat kota. Papan namanya bertuliskan “Ray Hotel”. Dixa curiga.
“Ray Hotel? Apakah hotel itu ada hubungannya dengan Ray?” tanya Dixa. Tak lama kemudian, Dixa pun sampai di sekolahnya. Ia pun memarkir sepedanya. Tak lama kemudian, bel berdering. Anak-anak pun segera memasuki kelas. Dixa menempati kelas 2B yang ada di lantai empat, lantai teratas SMP Pegasus. Di kelas Dixa, setelah berdoa bersama, masuklah Bu Sally, wali kelas di kelas Dixa.
“Anak-anak… Sebelum kita memulai pelajaran, kita akan berkenalan dengan anak baru pindahan dari Scoop City. Nak, ayo perkenalkan dirimu,” kata Bu Sally sambil menggandeng seorang anak lelaki yang mirip dengan Ray. Baik rambut, jumper, dan celana, benar-benar serupa. Apakah dia orangnya?
“Hai, teman-teman… Namaku Sebastian Ray. Panggil aku Sebas. Aku adalah anak pindahan dari Scoop City. Dan aku tinggal bersama orang tuaku di Komplek Flamboyan bersama orang tuaku sekarang di Machine City,” kata Sebas. Dan benarlah, dia itu orang yang dipanggil Ray oleh Dixa tadi.
“Bu… Ada kursi kosong?” tanya Sebas. Sebenarnya, ada empat kursi kosong, dan tiga kursi kosong ada di sebelah para gadis.
“Akh! Hai, S-Ray!” teriak anak-anak gadis.
“Duduk saja di sini!”
“Tidak, di sebelahku saja!”
“No-no-no! Jangan dekat-dekat mereka! Dekatku saja, S-Ray!” anak-anak gadis yang sepertinya jadi calon fangirl barunya menjerit-jerit.
“Pilihanmu, Sebas. Kau mau duduk di dekat fangirl-mu, atau di paling depan dekat Dixa?” tanya Bu Sally. Sebas beranjak, dan duduk di sebelah Dixa.
“Bagaimana? Rantaimu sudah kembali seperti sedia kala, bukan?” tanya Sebas kepada Dixa.
“Ray? Itukah kau? Wow, terima kasih. Rantainya sudah kembali seperti sedia kala, kok. Mulai sekarang, akan kupanggil kau Sebas sekarang,” kata Dixa. Sebas mengangguk. Setelah itu, dimulailah pelajaran sejarah dengan kuis dadakan. Sejarah Machine City. Bu Sally berkata.
“Anak-anak, siapakah nama pendiri kota Machine City? Jelaskan juga alasan pembangunannya, bagaimana ditemukannya, dan perkembangan teknologinya,”
Dixa mengacungkan jarinya.
“Pendiri Machine City adalah… adalah… siapa, ya?” kata Dixa. Pertanyaan itu disambar oleh Sebas.
“Pendiri Machine City adalah Pak Tom. Pak Tom adalah keluarga yang kaya raya. Awalnya, beliau sedang berlibur bersama keluarga besarnya dengan hovercraft pribadi miliknya. Tapi, mereka memutuskan untuk singgah di sebuah pulau terpencil yang dekat dengan pulau sebelahnya. Pak Tom memutuskan untuk membangun perkemahan untuk keluarganya. Setelah itu, karena ia ingin pindah kemari, maka Pak Tom kembali bolak-balik dari rumahnya kemari untuk pembangunan kota ini yang memakan biaya besar,”
“Lalu? Itu sudah ada dua pertanyaan yang kau jawab. Yang ketiga?” tanya Bu Sally.
“Pak Tom berhasil menyelesaikan kota kecil Machine City yang diikuti oleh pembangunan Scoop City oleh orang lainnya. Machine City diresmikan oleh pemerintah pada tahun 1972, dan semakin lama kota itu semakin banyak pendatang. Dahulu, namanya adalah D’ City. Tapi, karena kota ini menjadi transit pelabuhan, ekspor-impor, dan teknologi canggih pada tahun 1978, maka, kota ini diganti namanya menjadi Machine City, yang artinya Kota Mesin,” jelas Sebas. Sekelas bertepuk tangan riuh. Sepertinya, Sebas bakal meraih ranking satu nantinya. Pulang sekolah, Dixa pulang bersama Sebas.
“Sebas, kenapa kau begitu pintar sebagai anak baru?” tanya Dixa.
“Karena aku memang pintar. Tidak seperti dirimu yang kerjanya hanya berpikir terlalu lama. Cepat atau lambat, ranking-mu pasti akan tergulingkan, Dixa!” sombong Sebas.
“Dasar anak sombong! Seharusnya aku tak bertemu denganmu pagi tadi! Lebih baik kuperbaiki saja rantaiku sendiri!”
“Baiklah kalau kau tidak mau menerima bantuanku. Silahkan lepas lagi rantaimu, aku tak peduli. Atau, buang saja sepeda rongsokan tuamu itu. Sepedamu kalah bagus dari sepeda gunungku yang jauh lebih sporty dan modern!”
“Aahh! Sebas!” teriak Dixa. Ia mengepalkan tangannya dan bersiap memukul Sebas. Dixa ragu. Sebas menyeringai.
“Kau mau bertarung?” tantang Sebas. “Akan kuberi kau sensasi pertarungan yang sesungguhnya,”

BERSAMBUNG…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REVIEW BUKU: HOLY MOTHER BY AKIYOSHI RIKAKO

Judul: Holy Mother Penulis: Akiyoshi Rikako Penerbit: Penerbit Haru Genre: mystery, thriller, crime Rating: 4.9/5 Buku yang ...