Kamis, 09 Maret 2017

ETERNAL HOSTILITY (PART 1): AMNESIA



“Ahhh…” polisi itu terhuyung ke depan dan menabrak kaca mobil patrolinya. Wajahnya mulai merosot ke bawah dengan cepat. Namun sebelum ia benar-benar jatuh ke tanah, ia melihat tas ranselnya yang sengaja diletakkan di jok sopir mobilnya.

BRUK…

Polisi itu ambruk ke tanah. Tubuhnya benar-benar lemah. Lemah lunglai. Ia seperti sehelai kain yang tak berdaya. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha membuka pintu mobil. Akhirnya, ia berhasil memasuki mobil patrolinya dan meraih tas ranselnya. Ia membuka resleting ransel itu dan melihat sepuluh kantong berisi minuman pada awalnya yang kini telah kosong melompong.

“Sial, sudah habis semua,” gerutu polisi itu. Ia pun berusaha melangkah keluar dari mobil. Beberapa menit yang lalu, ia meminta izin kepada komandannya untuk beristirahat sejenak karena tubuhnya sangat lemah hari ini. Mereka sedang menyelidiki kasus pembunuhan yang terjadi di sebuah lokasi kebakaran. Sang pembunuh menusuk korbannya dikelilingi api yang berkobar-kobar.

Korban berhasil dievakuasi dan korban diduga masih hidup. Di samping korban itu, berdirilah seorang wanita cantik berambut pirang alami. Polisi itu menjilat bibirnya. Matanya berbinar-binar. Kemudian, ia berlari dengan tertatih-tatih menuju wanita itu. Ia membawa sang wanita menuju sebuah gang yang sepi dan gelap. 

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya wanita itu dengan polosnya. Senyum lebar polisi itu terukir di bibirnya. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga sang wanita.

“Parfum yang kau pakai sangat wangi dan sedap. Ada yang lebih wangi dan sedap daripada parfum yang kau pakai,” kata polisi itu dengan nada merayu.

“Apa yang lebih wangi dan sedap daripada parfumku?”

“Biar kuberitahu. Hal ini lebih wangi, sedap dan menggiurkan daripada parfum itu,”

“Ayolah, beritahu aku…”

“Darahmu yang merah pekat. Lebih wangi, sedap, dan menggiurkan… HAHAHA…” tawa polisi itu pecah. Ia membuka mulutnya lebar-lebar. Taring panjangnya terlihat. Taring itu siap menusuk leher sang wanita dan sang polisi tinggal menghisap darahnya. Namun, sebelum taring itu menancap di leher wanita cantik tersebut, sang polisi merasa ada yang aneh.

Ada seseorang mendekat. Tercium bau sangit beserta bau gosong. Dan juga bau anyir. Dari kejauhan, ia melihat api di gedung tempat sang korban tadi dilukai sudah padam. Dari depan gang, ia melihat seorang petugas pemadam kebakaran yang berdiri tegap lengkap dengan jaket tahan apinya, namun perlengkapan pernapasannya sudah dilepas. 

Jaketnya sudah berwarna oranye kehitaman. Gosong. Lalu, darimana asal bau anyir tersebut?

“Kau menjadi lemah lunglai, bukan? Apa karena anemia? Hahaha…” petugas itu tertawa lebar. 

“Korban tadi tidak jadi mati karena aku melawan pembunuhnya, dan alhasil, aku mendapatkan ini,”
Seringai bengis dan tatapan tajam ia sorotkan kepada polisi itu.

“Belum dapat asupan darah selama seminggu?” ejeknya.

“Kau… apa yang kau lakukan di sini?!” seru polisi itu kesal. Petugas itu menggulung lengan jaketnya sampai siku.

“Aku punya lebih dari satu liter darah jika kau mau… HAHAHA…” lagi-lagi ia tertawa. Luka sayatan itu terlihat menganga di tangan kanannya. Darah mengucur deras dari urat nadinya. Namun anehnya, ia tidak pingsan ataupun mati kehabisan darah. Ia masih bisa bertahan dan mengancam polisi itu agar tidak menghisap darah sang gadis.

“Tidak akan! Aku tidak mau meminum darah serigalamu yang sudah ternodai oleh dosa yang menggunung itu! Kau hanyalah serigala yang tidak tahu diri, jika kuminum darahmu maka aku akan menjadi kotor seperti dirimu!” teriak polisi itu dengan sumpah serapahnya.

“Baiklah, jika kau butuh darah, aku punya sekantong untuk memuaskan keinginanmu. Ayolah, ambil ini. Aku juga tidak tega melihatmu mati lemas,” kata petugas itu. Sang polisi mengangguk dan melepaskan wanita yang selama ini dipegangnya dan dijadikan tumpuannya agar tidak terjatuh.

Polisi itu memasang muka galak.

“Aku tidak percaya padamu. Kau hanyalah serigala rendahan. Jika kau menantangku bertarung, sekaranglah saatnya, ********…”

“Maaf, lain kali saja, ******…” petugas itu beranjak pergi meninggalkannya. Sayang sekali sang polisi sangatlah membenci petugas pemadam kebakaran itu. Saking bencinya, ia terbakar oleh nafsu dan kebencian dan menjerumuskannya ke dalam perbuatan keji.
Sang polisi melesat ke depan. Dan…
***
Pemuda itu membuka matanya perlahan. Ia tidak tahu ia di mana. Yang ia lihat pertama kali adalah ruangan putih dengan lampu yang menyilaukan matanya. 

GRADAK… GRADAK…

Pemuda itu berada di atas kasur dorong yang tengah didorong oleh beberapa suster.

“Di mana aku? Di mana…” pemuda itu nyaris tak bisa membuka mulutnya. Mulutnya terkunci oleh sesuatu yang lengket, hangat, dan basah.

Darah.

Ya, darah mengalir dari mulutnya. Begitupun dengan kepalanya. Ia merasakan darah yang masih mengalir deras dari kepalanya. Dengan kepala yang pusing, pemuda itu berusaha melongok ke bawah.

Tubuhnya… tubuhnya juga babak belur. Ia tak bisa menggerakkan tangan kirinya. Jaket anti-api yang ia kenakan sudah tidak berwarna oranye lagi. Sudah ternoda oleh darahnya yang menempel. Rasa sakit ia rasakan di sekujur tubuhnya. Tak lama kemudian, mata turquoise mengkilat pemuda itu kembali tertutup. Ia begitu lemah, terlalu banyak rasa sakit yang ia rasakan.
***
Selanjutnya, pemuda itu kembali membuka matanya. Ia terbangun di dalam ruangan ICU. Kali ini, ia mengenakan baju rumah sakit yang senada dengan warna matanya.

“Hai, kau sudah sadar?” terdengar suara di sampingnya. Pemuda itu menoleh ke kiri. Namun, kabel-kabel yang melilitnya membuatnya sulit bergerak. “Kau bisa dengar aku?”

Pemuda itu mengangguk, “Kau mengerti perkataanku?” orang itu kembali bertanya. Pemuda itu kembali mengangguk. “Siapa namamu?”

Pemuda yang terus menerus ditanyai itu menatap pria tinggi berseragam dokter di depannya dengan tatapan bingung.

“Aku? Namaku… nama…” pemuda itu bicara dengan terbata-bata.

“Namaku Roy Cusack. Namamu siapa?” pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Roy Cusack itu tersenyum kepada sang pemuda.

“Aku… aku tidak tahu. Namaku, atau siapa diriku. Bahkan aku merasa bukan siapa-siapa. Aku hanya merasa seperti jiwa kosong yang melayang,” ujar pemuda itu. Roy hanya menatap pemuda itu dengan tatapan kosong.

“Mungkin kau mengalami amnesia,”

Pemuda itu membelalak kaget.

“Amnesia?” tanyanya. “Kurasa aku pernah mendengarnya…”

“Tentu saja. Penyakit hilang ingatan,” sahut Roy, kemudian ia beranjak pergi meninggalkan pemuda itu. Pemuda itu berpikir sejenak, walaupun tidak ada satupun memori di otaknya yang bisa ia ingat. Bahkan, ia tidak tahu siapa namanya atau siapa dirinya. Matanya menerawang ke seluruh ruangan, berusaha berpikir, namun apa boleh buat. Amnesia telah mengelabui otaknya. 

Tepat di luar pintu, tampak siluet dua orang sedang bercakap-cakap di balik jendela pintu yang buram. Tak lama kemudian, dua orang itu masuk. Roy, sang dokter co-as yang tadi masuk bersama seorang suster wanita.

“Hai, Nak. Perkenalkan, ini Leah Camellia. Dia adalah suster di sini. Kami sudah mengetahui siapa namamu,” kata Roy. Suster cantik bernama Leah itu membaca papan nama pasien yang digenggamnya.

“Carlos Casena. Itulah namamu,” kata Leah sambil melempar senyum kepada Carlos. Carlos menjadi kaget.

“Carlos? Itukah namaku?” tanya Carlos dengan wajah bingung. Memang, sejak awal ia selalu bingung akan segalanya.

“Ya, nama yang keren, bukan? Carlos artinya jantan. Baiklah, setelah luka-lukamu sembuh, kau bisa pulang ke rumahmu,”
***
Seminggu kemudian, Carlos sudah sembuh dari luka-lukanya. Kemarin, Roy memberikan secarik kertas kepadanya yang berisi alamat rumahnya. Roy dan Leah sudah berusaha sekuat tenaga untuk membuat Carlos teringat kembali akan memorinya selama ini.

Namun, hasilnya nihil, sebab amnesia itu sangatlah parah. Apa yang bisa memulihkan ingatannya? Dengan menyetrum tubuhnya, itu mustahil. Tidak mungkin juga memukul kepalanya dengan batu ataupun panci, sebab mungkin itu akan membuat ingatannya semakin melayang dan akhirnya kepalanya kosong.

Seperti sebuah komputer yang di hack atau baru di-update.

IT’S ALL BLANK
***
Carlos kembali pulang ke rumahnya. Walaupun ia tak tahu apapun soal rumahnya. Ia melangkah masuk ke dalam rumahnya yang dingin seperti kulkas dan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Sebuah robot berbentuk Nessie dengan bandana merah yang mengikat lehernya telah menunggu di kasurnya.

Dia bernama Nelson Robert, robot peliharaan Carlos sekarang. Namun, ketika melihat robot itu, Carlos justru menjerit sekeras mungkin.

“AARRGGHH! Makhluk aneh macam apa kau ini, dasar sialan?!” jerit Carlos. “Kau harus keluar dari rumahku sebelum aku membunuhmu!” kemudian Carlos mengambil sebuah pemukul baseball yang ada di sampingnya. Ia mengangkat pemukul itu tinggi-tinggi.

“Adakah kata-kata terakhir?” ancamnya. Nelson hanya terdiam.

“Hei, jangan gila, Carl. Aku adalah peliharaanmu. Tidakkah kau mengingatnya?” Nelson kemudian berbicara. “Letakkan pemukul baseball itu sekarang. Jangan buat benda itu rusak ketika menghantam tubuh titanium-ku,”

Carlos pun meletakkan pemukul baseball itu. “Maafkan aku…”

“Ya, ya, ya. Tidak masalah. Kenapa kau bersikap seperti orang bodoh?” Nelson mengernyitkan dahinya. Kemudian, ia melompat ke pelukan Carlos. “Ceritakan padaku, bro,”

“Well, sebenarnya aku tak tahu siapa diriku. Aku hanya merasakan darah membasahi seluruh tubuhku. Mungkin aku dihajar. Sesaat kemudian, aku bertemu dengan seorang dokter bernama Roy Cusack dan suster Leah Camellia. Aku tidak bisa mengingat apapun. Namun tiba-tiba, suster Leah memberitahukan padaku jika namaku adalah Karurosu…” perkataan Carlos terputus.

“Hus, namamu Carlos, bodoh!” potong Nelson. “Mungkin itu ejaannya dalam bahasa Jepang. Sudahlah, biar kuperiksa kau. Tindakanmu mencurigakan. Kau terlihat kikuk, bodoh, dan tidak dapat mengingat apapun. Kau pasti sedang bercanda,”

Nelson pun melompat dan duduk di kasurnya. Kemudian, matanya mengeluarkan sebuah laser merah. Ia mendiagnosis Carlos.

“Oi, kau terkena amnesia, Carl,” kata Nelson. “Amnesia yang sangat parah. Dari hasil diagnosa ini, kau terkena amnesia parah karena seseorang memukul kepalamu sebanyak lima kali,”

Carlos menatap Nelson dengan tatapan bingung. Namun, sesaat kemudian, matanya mendelik.

“Aakkhh…” erangnya pelan. Carlos terduduk sambil memegangi kepalanya. Nelson panik dan bertanya padanya.

“Ada apa, Carl?” tanya Nelson.

“Aku… aku seperti mengingat sesuatu…”

BERSAMBUNG…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REVIEW BUKU: HOLY MOTHER BY AKIYOSHI RIKAKO

Judul: Holy Mother Penulis: Akiyoshi Rikako Penerbit: Penerbit Haru Genre: mystery, thriller, crime Rating: 4.9/5 Buku yang ...