Dixa
terjatuh ke dalam lubang dalam itu. Bagaikan lubang tanpa batas. Namun, ada
batasnya. Dixa mendarat di atas genangan air.
“Aahh!
Sakit sekali!” jerit Dixa. Suaranya menggema keras dalam lubang itu. Celananya
basah kuyup karena terjatuh dalam genangan air.
“Kau
baik-baik saja, Dix?!” teriak Rill dari atas sana. Dixa menengok ke atas.
Tampak kepala gadis cantik itu menghalangi seberkas sinar matahari.
“Aku
baik-baik saja, Rill!” sahut Dixa. Dengan tubuh sakit-sakitan, Dixa berusaha
bangun. Ia penasaran dengan lubang itu. Di dalamnya seperti terowongan rahasia.
Dixa berjalan menyusuri terowongan itu. Karena penasaran, Dixa tidak berpikir
ingin keluar dari lubang tersebut. Di dalam terowongan yang gelap gulita itu,
ia melihat seberkas cahaya.
“Cahaya?”
gumam Dixa bingung. Ia langsung berlari dengan langkah tertatih-tatih menuju
cahaya itu. Begitu dekat dengan cahaya, ia terkagum melihatnya. Sebuah
laboratorium bawah tanah rahasia yang berwarna putih. Sangat besar. Ia kembali
berlari keluar dari terowongan rahasia itu dan melongok ke atas mulut lubang.
Rill masih menunggu di atas sana.
“Rill!
Beritahu yang lain, aku menemukan sesuatu! Suruh mereka turun kemari!” teriak
Dixa.
“Baiklah,
Dixa! Tapi bagaimana caranya kita turun ke bawah?! Terjun bebas, begitu?!”
sahut Rill dengan penuh pertanyaan.
“Tidak,
bukan begitu! Ambil tali rafia di dalam tasku itu!”
“Kau
gila, ya?! Tali rafia akan putus jika membawa beban telalu berat!”
“Coba
saja! Hei, lihat! Di sini ada matras bekas mengambang! Aku bisa menggunakan
benda ini jika kalian terjatuh!” kata Dixa. Rill menurut, kemudian lekas
mengambil tali rafia dalam tas Dixa. Ia mengikatkannya pada sebuah pohon. Satu
persatu, teman-temannya menuruni tali rafia. Untunglah, mereka mendarat dengan
selamat… pada matras itu. Tali rafianya tidak cukup panjang untuk mencapai
dasar. Dixa mengajak teman-temannya untuk menyusuri terowongan tersebut. Saking
gelapnya, mereka hanya bisa berjalan sambil meraba-raba. Masih jauh untuk mencapai
laboratorium itu. Tiba-tiba, sepasang mata menyala dalam kegelapan. Awalnya,
Dixa senang melihatnya.
Ia
mengira itu adalah manusia yang bisa menolongnya dalam kegelapan semacam ini.
Namun, sesaat kemudian, Dixa memicingkan matanya.
“Itu
bukan manusia! Itu bukan penolong!” jerit Dixa. Pemilik mata menyala itu
mendekat. HAP-HAP-HAP! Rahang besarnya yang kuat terbuka dan tertutup. Tubuhnya
mengkilat dalam kegelapan. Dixa dan lainnya terpaksa mundur menuju dasar lubang
tadi karena “si aneh” itu terus mendekati mereka. Dan dalam tempat terang,
terlihatlah jika sebenarnya itu adalah robot. Robot buaya putih. Buaya putih
yang sering muncul dalam mitos dan legenda. Dixa sangat mengidolakan makhluk
mitos “buaya putih” selain Pegasus. Dan kini, ia melihatnya secara langsung,
dan tidak disangka harus berhadapan dengannya.
“Mundur,
semuanya! Aku akan menyerangnya!” kata Dixa.
“Hei,
sob. Kekuatan petirmu tidak akan berguna di sini. Kau malah akan menyalurkan
listrikmu kepadanya, dan bisa jadi dia akan bertambah kuat,” kata Sebas. Dixa
diam tak berkutik. Di sisi tubuh robot itu sebelah kiri, tertulis sesuatu.
WhiteCroco 1492. Sepertinya itu adalah namanya.
“Kau
tak akan bisa lepas dari sini!” buaya itu bicara. Dia bisa bicara rupanya.
Sebas merogoh kantong celananya. Ia pun maju ke depan.
“Kau
mau menyingkir, atau ingin merasakan ini?” tanya Sebas. Ia menodongkan pistol
kepada buaya itu.
“Sebas?
Kau bawa senjata?” tanya Rill heran.
“Ya,
ini milik kakak sepupuku. Aku meminjamnya,” sahut Sebas. Buaya itu tidak
menyingkir. Ia memamerkan gigi-gigi besinya yang tajam. DOR-DOR-DOR! Tiga buah
peluru bersarang di kepala buaya itu. Namun, itu tidak menyurutkan niatnya
untuk membunuh Dixa dan teman-temannya. Sebas menembak buaya itu lagi. Dan kali
ini, upayanya berhasil. Buaya itu sepertinya pingsan.
“Cepatlah,
selagi White Croco pingsan!” kata Sebas. Mereka langsung berlari ke dalam. Tak
lama kemudian, mereka menemukan sebuah laboratorium besar.
“Jadi
ini yang ingin kau tunjukkan?” tanya Miyako. Dixa mengangguk. Lalu, pintu
otomatis laboratorium itu terbuka. Mereka masuk ke dalamnya.
“Wah…
keren… segala macam yang kau butuhkan ada di sini,” kata Dixa. Laboratorium itu
punya segalanya. Setelah lama bermain, mereka tertidur pulas.
ooo0ooo
“Hei,
bangun, Dixa!” teriak Jason. Dixa membuka matanya. Ia langsung duduk di
kasurnya, dan melihat teman-temannya. Seperti sedang menyusun sebuah rencana.
“Rencana
apa itu?” tanya Dixa.
“Rencana
ke Darkness Kingdom. Dixa, tak disangka, ternyata hutan ini langsung
berhubungan dengan Metropolis City. 2 kilometer jika kau berhasil keluar dari
sini, kau akan menemukan Metropolis City!” kata Yuri bersemangat.
“Dixa,
dengarkan. Kau dan Jason, harus datang ke Metropolis City. Dan ketika kalian
sudah di sana, kami akan datang ke Darkness Kingdom untuk menyerbu. Lalu, kami
akan melaporkannya kepada kalian agar kalian datang,” kata Sebas.
“Siap,
komandan!” sahut Dixa.
“Dengar,
kau jangan gunakan kekuatanmu. Mungkin kau bisa menaklukkan seekor naga
bertenaga nuklir. Tapi, kau mungkin akan sulit menaklukkan robot. Sebab secara
tidak langsung, kau malah akan bunuh diri. Kau menyalurkan tenaga listrik
kepada robot musuhmu,” kata Sebas. “Kecuali kau punya tenaga yang lebih besar
agar mereka merasa tenaga itu terlalu berlebihan, sehingga kau bisa
menaklukkannya,”
“Baik!”
sahut Dixa lagi. Dixa langsung berangkat dengan persenjataan lengkap. Dan
ternyata, lewat pintu belakang laboratorium itu,mereka bisa langsung keluar
dari dalam sana. Menempuh perjalanan menuju Metropolis City. Dixa tidak
menyangka, jika sebuah robot berbentuk buaya putih sedang mengintainya di
belakang.
BERSAMBUNG…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar