Suasana
semakin memanas. Dargon mengancam dengan segala cara. Ia berbohong. Katanya, ia
tidak ingin menyerang Bumi, tapi sebenarnya ya. Ia ingin agar anak-anak sekolah
itu tahu kekuatan dari planet Monsters. Peradabannya lebih maju dari Bumi yang
sekarang.
“Hei,
jika kau tidak mau menyerahkannya, aku benar-benar akan membunuhmu dan seluruh
temanmu! Aku sudah tidak tahan lagi denganmu!” kata Dargon.
“Dargon!
Aku ingin jika kau pergi dari planet kami! Bilang pada bosmu, jika aku ingin
meminjam jam tangan ini!” kata Dixa.
“Berapa
lama akan kau pinjam? Selamanya? Tidak! Aku maunya kau mengembalikan itu
sekarang! Paham, tidak?!”
“Terserah
kau! Kau dan bosmu memang pelit!” bantah Dixa. Ia berlalu pergi.
“Orca,
serang anak itu,” suruh Dargon.
“Baik,
sobat!” sahutnya.
“Sepertinya,
kau harus merasakan ini. Aku sudah tidak tahan lagi dengan bocah sialan
sepertimu… WATER BULLET!” kata Orca. Ia mengeluarkan serangannya. Segera,
peluru air yang berukuran sebesar tubuh manusia itu menghujam Dixa. Peluru itu
tidak menembus tubuhnya, tapi, berhasil melumpuhkannya.
“Aarrgghh!
Hah? Kau? Dasar kau paus orca melayang tidak tahu diri!” kata Dixa. Miyako maju
menantang.
“Apa
yang kau lakukkan padanya, hah?”
“Tidak
ada. Hanya hukuman kecil untuk bocah sialan kecil. Rattlesnake, tunjukkan
kemampuanmu!” kata Orca. Rattlesnake, si ular derik kerempeng itu maju.
“ZIG-ZAG
SPEED!” ia mengeluarkan jurusnya. Gaya berjalan zig-zag ala ular derik itu
dikeluarkannya. Tapi, kecepatannya mencapai 100 knot, membuat Miyako kesulitan
membedakannya. Lama-lama, ular itu melompat ke hadapannya.
“Hiiyyaahh!
POISONS BITE!” Rattlesnake melompat, dan hendak menggigit Miyako. BETT… Dixa
menarik tubuh kakaknya secepat kilat, membuat gigi ular itu bertabrakan dengan
tanah.
“Aakkhh…
Kau membuat gigiku goyang! Hiiss… Lihat saja. Temanku akan menghabisimu!
Dargon, serang diaaaa…” kata Rattlesnake. Dargon mengganguk, dan secepat kilat
ia menuju Dixa. Miyako mati kutu. Ia tak bisa lagi melindungi adiknya, dan itu
sudah pasti. Dixa akan mati.
“FIRE
CLAWS!”
“Jangan
harap kau bisa menghabisiku dengan mudah!” Dixa menghindar dengan gesit, dan
menendang perut Dargon dengan keras. Tendangan keras itu berhasil. Dargon
terlumpuhkan sementara. Tapi, ia belum menyerah.
“Huh!
Kau pikir, tendanganmu itu bisa mempengaruhiku, ya? Jangan salah sangka…”
“Aku
tentu bisa mengalahkanmu. Sebelum kau menyerah dan pergi dari Bumi, aku belum
menyerah. Kalau kau mau, ambil jam tangan ini!” kata Dixa. Ia pun melemparkan
jam itu kepada Dargon.
“Terima
kasih. Kau sudah mengembalikan ini. Tapi, naga berenergi matahari sepertiku
bukanlah naga yang mudah menyerah. Kau sudah berbuat kasar, maka, kau harus
siap bertarung walaupun jam ini sudah kau kembalikan!”
“Terimalah…
SUPERIOR IMPACT!” Dargon mengeluarkan semburannya. Semburan yang secepat laser
itu langsung melubangi gedung sekolah. Baju Dixa terbakar sedikit.
“Aku
belum puas sampai kau hangus. FLAME BLOWS!” pertarungan semakin sengit. Dargon
menyemburkan api. Api itu berupa ledakan.
Kebakaran melanda seluruh sekolah. Dargon merasa puas telah membunuh anak itu.
Tubuh Dixa terlempar ke dalam teras sekolah, meringkuk lemas dikelilingi api.
Sudah dipastikan ia mati.
“Hahaha…
Rasakan itu!” kata Dargon. Sirine terdengar semakin dekat. Belasan unit mobil
pemadam kebakaran dan empat unit mobil polisi tiba di lokasi. Mereka
mengevakuasi seluruh orang yang ada di sekitar. Dargon bersembunyi di balik
kapalnya.
Para
pemadam kebakaran menemukan tubuh Dixa. Mereka meraba-raba tubuh Dixa. Tubuhnya
hangat, dan tidak dingin, bahkan tidak kaku.
“Ayo,
angkat dia!”
“Dia
belum hangus. Sebaiknya cepat angkat,” kata salah seorang dari mereka. Mereka
hendak mengangkat “jasad” Dixa. Akan tetapi…
“Jangan
menganggapku enteng, Dargon!” suara Dixa terdengar. Tiba-tiba, anak itu bangun.
Orang-orang yang hendak mengangkatnya menyingkir. Petir yang bercabang-cabang
keluar dari tubuh Dixa. Wajahnya tampak benar-benar marah, dan sepertinya, akan
keluar sesuatu yang luar biasa dari dirinya. Kekuatan super.
“Aku
belum mati…”
BERSAMBUNG…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar