Halo…
Balik lagi ke ceritanya si bocah Dixa. Kali ini, si Dixa sudah 14 tahun, lho.
Tapi, temannya masih itu-itu aja. Jason, Yuri, dan Rill. Kakaknya juga, si
bawel Miyako. Iyalah, silahkan dibaca!
Kejadian
menyakitkan itu masih terekam di otak Dixa dan Miyako sampai sekarang. Kali
ini, Dixa mencoba memutar kembali rekaman kejadian itu.
Malam
itu, keluarga Dixa sedang menonton TV. Dan tiba-tiba, suasana malam Minggu yang
seharusnya cerah di luar berubah menjadi gelap gulita. Ayah Dixa, Kenny,
membuka pintu dan melihat apa yang terjadi di luar. Ibunya Dixa, Dina, juga
keluar bersama Miyako dan Dixa. Rupanya, ada seorang anak kecil dengan
kegelapan luar biasa yang ada di belakang tubuhnya.
Ia
memakai baju dan celana putih dengan simbol bayangan di dadanya. Mata dan
hidung anak itu tertutup oleh rambutnya yang mengkilat seperti besi. Kulitnya
juga mengkilat, sebagaimana besi.
“Siapa
kau?” tanya Kenny.
“Halo,
keluarga Katanede. Kalian bernama Kenny Katanede, Dina, Katanede, dan Miyako
Katanede. Tapi, hanya ada satu, anak bungsu yang bernama berbeda dengan kalian.
Ishida Dixa. Yap, siapa lagi yang memberi nama berbeda itu jika bukan Miyako?”
kata anak aneh itu.
“Bagaimana
kau tahu semuanya tentang kami, nak?” tanya Dina.
“Oh…
Itu mudah. Karena, aku tahu semua anak di Machine City ini yang memiliki
kekuatan super. Dan aku menangkap setiap orang tua anak berkekuatan super itu
untuk dijadikan tahanan penjara. Lalu anaknya, setelah besar nanti akan dilacak
oleh pesuruhku untuk dibunuh langsung olehnya,” sahut anak itu. Keheningan
terjadi sejenak.
“Kenapa
kau bilang begitu pada kami?” tanya Miyako.
“Karena…
Kalian memiliki kekuatan super, anak kecil! Kau tahu? Aku sudah menangkap
keluarga Blue, keluarga Kuzenkov, keluarga Sania, dan keluarga Ray! Anak-anak
mereka memiliki kekuatan super, dan kalian juga!” katanya.
“Keluarga
Ray? Bukankah keluarga Ray adalah pemilik dari hotel, motel, apartemen, dan
resort terkenal di kota ini? Bukankah dia memiliki anak lelaki yang polos?
Apakah anaknya memiliki kekuatan?” tanya Kenny.
“Ya!
Putra tunggal dari keluarga Ray memang memiliki kekuatan!” sahut anak itu.
“Memang
siapa namamu, anak aneh?” tanya Dixa.
“Shadow
Ninja-Bot… Atau kalian boleh panggil aku SNB. Aku bukanlah manusia, melainkan
aku adalah sebuah robot yang dirancang dalam bentuk manusia. Dan aku tinggal di
Robo-World, nak! Di dunia robot itulah, orang tua kalian akan ditahan
selamanya, dan itulah dunia yang tidak bisa ditemukan oleh manusia!” kata SNB.
“SHADOW
TRAP!” kata SNB. Jebakan bayangan berbentuk kotak itu menjebak orang tua Dixa.
Samar-samar terlihat bayangan mereka yang meminta pertolongan kepada anak
mereka yang tidak berdaya tersebut. Mereka tak tahu apa yang robot itu
bicarakan. Kekuatan? Apakah selama ini mereka terlahir dengan kekuatan?
Entahlah. Mereka tak tahu apapun, dan hanya bisa menangisi kepergian orang
tuanya.
SNB
lenyap bersama dengan orang tuanya.
“Ibu…
Ayah… Huwwaahh…” tangis Dixa. Miyako mengajaknya masuk ke dalam rumah. Itulah
awal kejadian kenapa mereka hanya hidup berdua saja.
ooo0ooo
Dixa
meringkuk di atas kasurnya. Dia sudah tak sanggup lagi membayangkan kejadian
itu. Matanya sembap. Air matanya hampir mengalir. Tapi, sudut matanya melihat
jam dinding yang menunjukkan pukul 06.15. Beberapa menit lagi, bel sekolahnya
akan berdering.
“Waah!
Tidak! Aku pasti telat! Miyako sudah berangkat ke sekolah, kan?!” jerit Dixa.
ooo0ooo
Sepeda
gunung Dixa yang dikendarainya berderit. Berisik sekali. Di pertengahan jalan…
sepeda itu tidak bisa bergerak sama sekali. Dixa heran. Ia melongok ke bawah.
Rantainya lepas.
“Aarrgghh!
Dasar pengganggu! Siapa suruh rantai lepas di tengah jalan, sih? Hiih! Sebal!”
gerutu Dixa. Tiba-tiba, sekelebat bayangan muncul menghalangi sinar matahari
pagi yang menerangi Dixa. Dixa menoleh ke atas.
“Kau
butuh bantuan, sob?” tanya orang itu.
“Uh…
Tentu,” sahut Dixa. Orang itu membantu Dixa memasang rantai sepedanya. Dia
belum dewasa, masih muda. Seumuran Dixa. Dia berambut hitam, memakai jumper
abu-abu dengan tulisan “Greyman” di dadanya, juga celana jeans biru dengan
sepatu warrior merah.
“Kau
itu masih SD atau SMP?” tanya Dixa.
“Tidak,
aku sudah SMP, tapi, aku bersekolah keduluan satu tahun. Jadi sekarang, usiaku
15 tahun walaupun masih kelas 2 SMP,” sahut orang itu.
“Lalu…
Kau bersekolah dimana?”
“Di
SMP Pegasus. Kau juga bersekolah di SMP itu, kan?”
“Kau
benar. Aku bersekolah di SMP Pegasus. Tapi kok, kita tidak pernah bertemu, ya?
Kau ada di kelas mana, sih?”
“Nanti
kau juga akan mengerti, Dixa,”
“Huh?
Darimana kau tahu namaku?”
“Mudah
saja. Itu… Nametag di dadamu,”
“Oh,
biar aku baca nametag…” kata Dixa terputus, dan orang itu langsung berlalu
pergi. Dixa membaca sekilas nametag orang itu, tapi tidak terlalu teliti. Nama
depannya berinisial S, tapi Dixa tidak tahu apa artinya. Nama belakangnya Ray.
Ray? Haruskah Dixa memanggilnya Ray?
“Ray!
Tunggu!” teriak Dixa. Tapi sepertinya, Ray tidak menghiraukannya. Dixa kembali
mengayuh sepedanya yang rantainya sudah kembali terpasang dan mengejar Ray yang
berlari sangat kencang itu. Tapi, Ray menghilang begitu saja.
“Ah,
biarlah si Ray itu. Paling nanti aku juga bertemu dengannya di sekolah,” gumam
Dixa. Sekolahnya berjarak 200 meter dari rumahnya. Cukup jauh, dan hampir
mendekati pusat kota Machine City. Dari kejauhan, ia melihat sebuah gedung yang
terletak di pusat kota. Papan namanya bertuliskan “Ray Hotel”. Dixa curiga.
“Ray
Hotel? Apakah hotel itu ada hubungannya dengan Ray?” tanya Dixa. Tak lama
kemudian, Dixa pun sampai di sekolahnya. Ia pun memarkir sepedanya. Tak lama
kemudian, bel berdering. Anak-anak pun segera memasuki kelas. Dixa menempati
kelas 2B yang ada di lantai empat, lantai teratas SMP Pegasus. Di kelas Dixa,
setelah berdoa bersama, masuklah Bu Sally, wali kelas di kelas Dixa.
“Anak-anak…
Sebelum kita memulai pelajaran, kita akan berkenalan dengan anak baru pindahan
dari Scoop City. Nak, ayo perkenalkan dirimu,” kata Bu Sally sambil menggandeng
seorang anak lelaki yang mirip dengan Ray. Baik rambut, jumper, dan celana,
benar-benar serupa. Apakah dia orangnya?
“Hai,
teman-teman… Namaku Sebastian Ray. Panggil aku Sebas. Aku adalah anak pindahan
dari Scoop City. Dan aku tinggal bersama orang tuaku di Komplek Flamboyan
bersama orang tuaku sekarang di Machine City,” kata Sebas. Dan benarlah, dia
itu orang yang dipanggil Ray oleh Dixa tadi.
“Bu…
Ada kursi kosong?” tanya Sebas. Sebenarnya, ada empat kursi kosong, dan tiga
kursi kosong ada di sebelah para gadis.
“Akh!
Hai, S-Ray!” teriak anak-anak gadis.
“Duduk
saja di sini!”
“Tidak,
di sebelahku saja!”
“No-no-no!
Jangan dekat-dekat mereka! Dekatku saja, S-Ray!” anak-anak gadis yang
sepertinya jadi calon fangirl barunya menjerit-jerit.
“Pilihanmu,
Sebas. Kau mau duduk di dekat fangirl-mu, atau di paling depan dekat Dixa?”
tanya Bu Sally. Sebas beranjak, dan duduk di sebelah Dixa.
“Bagaimana?
Rantaimu sudah kembali seperti sedia kala, bukan?” tanya Sebas kepada Dixa.
“Ray?
Itukah kau? Wow, terima kasih. Rantainya sudah kembali seperti sedia kala, kok.
Mulai sekarang, akan kupanggil kau Sebas sekarang,” kata Dixa. Sebas
mengangguk. Setelah itu, dimulailah pelajaran sejarah dengan kuis dadakan.
Sejarah Machine City. Bu Sally berkata.
“Anak-anak,
siapakah nama pendiri kota Machine City? Jelaskan juga alasan pembangunannya,
bagaimana ditemukannya, dan perkembangan teknologinya,”
Dixa
mengacungkan jarinya.
“Pendiri
Machine City adalah… adalah… siapa, ya?” kata Dixa. Pertanyaan itu disambar
oleh Sebas.
“Pendiri
Machine City adalah Pak Tom. Pak Tom adalah keluarga yang kaya raya. Awalnya,
beliau sedang berlibur bersama keluarga besarnya dengan hovercraft pribadi
miliknya. Tapi, mereka memutuskan untuk singgah di sebuah pulau terpencil yang
dekat dengan pulau sebelahnya. Pak Tom memutuskan untuk membangun perkemahan
untuk keluarganya. Setelah itu, karena ia ingin pindah kemari, maka Pak Tom
kembali bolak-balik dari rumahnya kemari untuk pembangunan kota ini yang
memakan biaya besar,”
“Lalu?
Itu sudah ada dua pertanyaan yang kau jawab. Yang ketiga?” tanya Bu Sally.
“Pak
Tom berhasil menyelesaikan kota kecil Machine City yang diikuti oleh
pembangunan Scoop City oleh orang lainnya. Machine City diresmikan oleh pemerintah
pada tahun 1972, dan semakin lama kota itu semakin banyak pendatang. Dahulu,
namanya adalah D’ City. Tapi, karena kota ini menjadi transit pelabuhan,
ekspor-impor, dan teknologi canggih pada tahun 1978, maka, kota ini diganti
namanya menjadi Machine City, yang artinya Kota Mesin,” jelas Sebas. Sekelas
bertepuk tangan riuh. Sepertinya, Sebas bakal meraih ranking satu nantinya.
Pulang sekolah, Dixa pulang bersama Sebas.
“Sebas,
kenapa kau begitu pintar sebagai anak baru?” tanya Dixa.
“Karena
aku memang pintar. Tidak seperti dirimu yang kerjanya hanya berpikir terlalu
lama. Cepat atau lambat, ranking-mu pasti akan tergulingkan, Dixa!” sombong
Sebas.
“Dasar
anak sombong! Seharusnya aku tak bertemu denganmu pagi tadi! Lebih baik
kuperbaiki saja rantaiku sendiri!”
“Baiklah
kalau kau tidak mau menerima bantuanku. Silahkan lepas lagi rantaimu, aku tak
peduli. Atau, buang saja sepeda rongsokan tuamu itu. Sepedamu kalah bagus dari
sepeda gunungku yang jauh lebih sporty dan modern!”
“Aahh!
Sebas!” teriak Dixa. Ia mengepalkan tangannya dan bersiap memukul Sebas. Dixa
ragu. Sebas menyeringai.
“Kau
mau bertarung?” tantang Sebas. “Akan kuberi kau sensasi pertarungan yang
sesungguhnya,”
BERSAMBUNG…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar