“Aku
masih hidup…” kata Dixa.
“RED
N’ BLUE THUNDER!” serangan petir Dixa berhasil menyetrum Orca. Ia bangkit
kembali, sedangkan Dargon masuk ke dalam kapalnya. Di ruang kendali, ia menekan
sebuah tombol dan membuat Dixa, Miyako, Jason, Yuri, dan Rill lenyap.
Paus
orca dan ular derik itu langsung masuk ke dalam kapal. Dixa dan lainnya
terkurung di dalam sebuah ruangan yang pengap, dan hanya sedikit udara masuk.
Dargon rupanya menekan tombol teleportasi barusan. Ia memandang Dixa dari
layarnya.
“Hehehe…
Bagaimana rasanya dikurung?”
“Pengap.
Di sini pengap! Kau kejam!” sahut Dixa.
“Jangan
sewot dulu. Ini belum seberapa. Bosku lebih kejam lagi!”
“Aku
tidak peduli dengan semua ini! Keluarkan aku!”
“Santai
saja, bro. Perjalanan ke planet Monsters hanya dua menit. Setelah itu, kau
boleh turun, dan hiruplah gas nitrogen bercampur ammonia sebanyak-banyaknya!”
kata Dargon.
“Tidaaaakkkk!
Lepaskan aku! Aku mau pulang!” Dixa berontak. Dargon mengendalikan kapal itu.
Mesin menderu keras, dan kapal itu mulai melayang meninggalkan Bumi.
“Tenang
saja… Kau akan segera mati di planetku,” kata si kopilot, Orca. Pilotnya sedang
sibuk tertawa. Sementara itu…
ooo0ooo
Seekor
naga merah dengan cakar sepanjang penggaris dan telinga berbentuk petir sedang
berbicara di laptop dengan naga bertelinga panah.
“Hai,
Dargon. Kau sudah ambil jam itu?” tanyanya.
“Tentu
saja sudah. Aku juga sudah membawa anak ini. Ia telah mengembalikannya atas
keinginannya sendiri, tapi, aku sudah tidak bisa menahan diri untuk menculiknya
bersama kakaknya dan teman-temannya,” sahut lawan bicaranya yang wajahnya
terpampang di layar laptop.
“Oh,
bagus. Akan kubunuh anak itu ketika sudah sampai di sini,” ia pun bicara, dan
menutup laptopnya.
“Hehehe…
Anak itu tidak akan menyangka, jika dia harus kehilangan nyawanya sekarang
juga. Satu menit dari sekarang, dia akan pergi ke alam Baka,”
ooo0ooo
“Semenit dari sekarang, kita akan
mendarat di sektor satu, Galactic Home, kota Technotry bagian Timur di padang
Eufhal Field…” suara rekaman wanita dari dalam ruang kendali
terdengar nyaring. Semenit kemudian, deru mesin terdengar di Eufhal Field.
Draganold,
yang tadi bicara di laptop telah menunggu. Dixa dan lainnya sudah bersiap
dengan helm oksigen. Pintu kapal terbuka lebar.
“Hai,
bos! Kali ini, kami bawa tawanan yang ingin liburan kematian di sini!” kata
Dargon sambil menenteng Dixa. Draganold mendekatinya.
“Oh,
jadi, ini dia anak yang mengambil jamku?” kata Draganold.
“Maafkan
aku…” kata Dixa.
“Baiklah.
Kalau kau memang menyukai jam tanganku itu, tidak apa-apa, kok. Tapi, segala
sesuatu ada resikonya, Nak. Termasuk memakai jam itu! OMEGA CLAWS!” Draganold
segera mencakar tangan Dixa.
“Aarrgghh!
Sakit! Apa yang kau lakukkan?!” kata Dixa sambil mengerang.
“Tuh,
kan. Lihat, bosku itu lebih kejam dan bengis,” kata Orca.
“Aku
akan membunuhmu. Sekarang juga…” kata Draganold. Dixa menitikkan sedikit air
mata.
“Kumohon…
Jangan… Hiks-hiks…” Dixa tak bisa berkutik. Tangannya sudah benar-benar sakit. Mata
Draganold menyiratkan kemarahan. Seringainya begitu bengis, dan posisinya
mengancam. Setelah itu… Aaaahhhh!
BERSAMBUNG…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar