Pulang
sekolah, Karin memasuki rumahnya. Kafe sedang tidak begitu ramai, jadi ia bisa
bersantai di kamarnya tanpa mendengar suara berisik para pelanggan. Tante Tara
pun menghampiri Karin.
“Hai,
Sayang. Kau sudah pulang. Ayo, bantu Tante melayani pelanggan, Sayang,” kata
Tante Tara.
“Tante,
aku lelah, nih. Boleh tidak, aku istirahat sehari saja dari bekerja?” sahut
Karin.
“Baik,
baik. Wajarlah, kau baru bebas dari penjara. Kau mungkin trauma berada dalam
ruangan sempit. Pergilah ke kamarmu,” kata Tante Tara. Karin mengangguk,
kemudian berjalan ke kamarnya. Tasnya dilempar begitu saja, dan ia tidak
mengganti seragamnya. Hanya membuka rompinya saja.
Karin
merebahkan tubuhnya diatas kasur.
“Harada,
kau dimana? Aku butuh bantuanmu. Soal Shiro. Apa menurutmu, jika aku memang
bertemu dengannya, apakah dia akan membelaku dari Koto?” gumam Karin. Namun,
jawaban Harada tak kunjung ada. “Harada? Kau ada?”
“Hai, Karin. Maaf aku terlambat
menjawabmu. Aku mendengar perkataanmu. Shiro, itulah yang kau katakan.
Menurutmu, Shiro akan membelamu dari Koto?” sahut Harada. Remaja
cantik berambut merah itu tersenyum kepada Karin.
“Ya,
menurutku begitu. Mungkin dia orang yang gagah, dan dia akan senantiasa
melindungiku. Paling dia tahu jika aku adalah kau,” sahut Karin.
“Shiro sebenarnya sudah membelamu. Dia
sudah membelamu dari Koto. Kau memang tidak mengenal reinkarnasinya. Tapi, aku
tak akan memberitahukannya. Suatu hari nanti, kau akan mengenali
reinkarnasinya. Dia berubah menjadi seseorang, kau akan mengetahuinya nanti,” kata
Harada. Kemudian, ia menghilang dari pandangan.
“Apakah
aku pernah menaksir seseorang?” gumam Karin.
ooo0ooo
“KOTOOOOOOOO!!!!!!!!”
“Hei,
dasar sialan! Kau sudah memukulku! Sakit, tahu! Giliran kubalas, kau malah
meneriakan namaku!”
“Aku
harus melakukannya karena… AKU BENCI PADAMUUUUUU!!!!!!!!”
“Aku
juga membencimu, Rin!”
BUAK!
Pukulan mendarat di perut Karin. Koto memukulnya dengan sangat keras.
“Koto!
Hentikan!” terdengar suara sang ketua kelas. Rambut cokelatnya berdiri. Karin
perlahan menoleh keatas, melihat wajah sang ketua kelas yang selama ini tak
pernah ia kenal sama sekali. Sayang sekali, ia tak melihat sorot matanya.
“Jangan ganggu dia…”
“Persetan!
Aku tak peduli padamu dan Karin! Kalau berani, aku menantangmu bertarung
sepulang sekolah nanti! Kalau tidak… aku akan menyakiti Karin sampai dia masuk
UKS,” kata Koto. Ia pun pergi dan bergabung bersama Sora dan Kai.
“Bagus,
Bos. Kau berhasil!” puji Sora.
“Lain
kali kita urus si Karin bersama-sama. Aku tak akan mengampuni gadis itu!”
celetuk Kai. Koto mengangguk. Sementara Karin…
Ketua
kelas itu mendekatinya dan membantunya bangun.
“Kau
baik-baik saja?” tanya ketua kelas itu.
“Ya,
aku baik-baik saja. Terima kasih. Aku akan berusaha menghilangkan phobia ini,”
sahut Karin. Ia kembali duduk di kursinya.
ooo0ooo
Pada
malam hari, Karin berjalan sendirian. Ia bermaksud untuk menghilangkan stress
karena Koto. Bulan purnama menyinari seluruh jalan. Tiba-tiba, seorang gadis
seumurannya merangkul pundaknya dengan tangannya yang dingin dan tembus
pandang. Karin menoleh.
“Harada?”
kata Karin.
“Aku ingin mengingatkanmu tentang
kehidupan lamamu. Tepat pada hari ini, aku mengajak Shiro mengerjakan PR
bersama di rumahku. Setelah PR selesai, aku mendengar adanya orang yang masuk
ke dalam,” kata Harada.
“Lalu?”
“Itu pembunuh. Entah apa alasannya, dia
berusaha membunuh kami,”
“Bagaimana
rupanya?”
“Aku juga tidak tahu. Pembunuh itu
memakai topeng scream, dan ia berusaha menusuk kami dengan… pisau yang tembus
pandang, seperti senjata futuristik. Tapi, Shiro melindungiku, dia mati
terlebih dahulu. Aku dikejar-kejar, dan tiba-tiba, aku didorong olehnya keluar
jendela dan mati,” jelas Harada.
“Terima
kasih. Mungkin ceritamu bisa membantuku menemukan Shiro,” kata Karin. Setelah
itu, Harada pun menghilang dari pandangan. Karin kembali berjalan. Tiba-tiba…
“Jangan!”
“Hahaha…
persetan dengan dirimu. Pokoknya, akan kubunuh kau!” terdengarlah suara dua
orang pria. Karin langsung mencari sumber suara, dan ia mendapatkan seorang
pria yang memakai topeng dan jaket hitam sedang mengacungkan pisau kepada
seorang pria yang ada di depannya. Karin tak bisa mencegahnya, ia terlalu
cepat.
Segera,
pisau itu menancap di jantung pria itu. CROT! Darahnya terciprat ke baju Karin.
Kemudian, pria itu memukul Karin sampai pingsan.
ooo0ooo
“Karin… ini aku… Karin… ini aku,” terdengar
suara seorang lelaki remaja. Karin bangun.
“Kau…”
Karin tidak percaya akan siapa yang ada di hadapannya tersebut. “Mustahil, aku
tak pernah bertemu denganmu lagi,” kata Karin. Di belakang lelaki itu,
berdirilah sebuah penjara.
Hard
Prison.
“Aku
merasa… aku merasa…” kata Karin tergagap.
“What do you feel, sis?” tanya lelaki
itu.
“I feel…” sahut Karin. Namun, ia tak
melanjutkannya. Ia hanya tersenyum. Karin tahu ia sedang bicara dengan siapa.
Sipir
penjara di Hard Prison.
Matanya
yang berwarna biru bening itu menatap lembut Karin. Karin melongok ke bawah.
“Astaga…”
katanya. Ia mengenakan baju khusus tahanan.
“Sshh…
jangan kaget. Tutup matamu,” katanya. Karin tak menutup matanya. Lelaki itu
berjalan ke belakang Karin dan menutup matanya. “Kau akan melihat
perbedaannya,” katanya lagi. Lelaki itu membuka mata Karin. Apa ini?
Ini
bukan lapangan tahanan. Ini... rumah. Karin meraih rambutnya. Merah? Kenapa
rambutnya berwarna merah. Ia melihat lelaki di belakangnya.
“Kurasa
kau mengenakan seragam sipir. Tapi, ini… seragam sekolah,” kata Karin.
“Tentu,
Harada. Kita kan, masih bersekolah. Sejak kapan aku sudah bekerja? Kau juga
belum bekerja, kan?” katanya.
“Apa?
Harada?” tanya Karin. Ia menatap kosong lelaki tampan dengan mata cokelat dan
rambut hitam itu.
“Shiro?”
“Tentu,”
sahutnya. Lalu, Shiro memeluk Karin erat-erat.
“Tutup
matamu. Kau akan melihat perbedaannya,” kata Shiro. Karin menutup matanya. Saat
membuka matanya, ia masih ada di pelukan Shiro yang kini memakai seragam hitam.
Karin mundur selangkah. Sipir penjara itu tersenyum. Rambutnya cokelat, matanya
biru.
“Kau
sudah mengerti sekarang?” tanyanya. Karin tersenyum lebar.
“Aku
mengerti…” sahut Karin.
ooo0ooo
“Ah,
apa yang terjadi?” tanya Karin. Ia bangun. Melihat sekelilingnya. Mobil-mobil
polisi. Para polisi mengacungkan pistolnya.
“Angkat
tangan!” kata salah seorang dari para petugas polisi itu.
“Dia
membunuh pria itu, Pak!” kata seseorang. Karin begitu terkejut. Sejak kapan ia
membunuh? Seorang pria bertopi mendekati polisi. “Lihatlah, Pak. Dia sudah
dipenjara, tapi dia berbuat ulah lagi sekarang. Dan jasad pria yang terbunuh
itu dibakar olehnya! Lihatlah, area sekitarnya juga dibakar,” tunjuknya.
“Ya,
ampun Nak! Kau sudah benar-benar keterlaluan. Siapa saja, panggil pemadam
kebakaran, cepat!” kata salah seorang polisi. Karin mengenali pria bertopi itu.
Dari sorot matanya, ia tentu mengenalinya dengan nama…
NGUAANNGG…
Suara
sirine mobil pemadam kebakaran berbunyi. Beberapa unit mobil pemadam kebakaran
tiba di tempat dan siap memadamkan api. Karin merasa muak dengan semua ini. Ia
ingin kabur dan semuanya selesai. Namun… BLEK…
Seseorang
merangkul pundak Karin. Ia menengok ke atas. Seorang petugas pemadam kebakaran
tampak menyeringai. Kedua bola matanya berwarna hitam tanpa ekspresi. Dan di
pipinya tertulis sesuatu. Sesuatu yang ditulis dengan cairan merah. Entah itu
sirup atau apalah semacamnya.
“DEATH”
Begitu
tulisannya. Karin bergidik.
“Kau
akan berakhir di penjara…” katanya.
“Kau
ditahan!” seorang polisi meringkus Karin dan memaksanya masuk ke dalam mobil
polisi. Kini, ia akan kembali ke penjara itu.
Hard
Prison.
ooo0ooo
Hukuman
sementara.
Masa
persidangan. Hukuman penjara selama 2 bulan. Sekolah Karin diliburkan selama 2
bulan karena ada sedikit renovasi lagi.
Masuk
penjara. Itulah yang dialami Karin sekarang. Ia dikirim ke Hard Prison bersama
7 tahanan lainnya. Lebih sedikit dari waktu itu. Ia dibariskan oleh penjaga.
Sipir penjara kembali mendatangi mereka. Tahanan lainnya disuruh masuk bersama para
penjaga. Kecuali Karin. Ia kembali bertatap muka secara langsung dengan sang
sipir.
“Karin,”
“Yuichi,”
Mereka
berdua sudah saling mengenali satu sama lain. Tapi tetap saja, walaupun ada
teman, Karin tahu seharusnya ia tak berada di penjara. Ini semua adalah…
Jebakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar