Malam
itu, Dixa sedang bermain PS di ruang keluarga.
“Hiyyaahh!
Terus! Terus! Woo, aku paling suka ini! Firefight!”
seru Dixa yang sedang berada dalam “baku tembak” bersama para tentara jahat.
Game tembak-tembakan. Ia sedang memainkannya sekarang.
“Kau
sepertinya serius sekali bermain game. Aku memainkan game balap mobil, tapi
tidak heboh sepertimu,” terdengar suara lelaki yang sedang tiduran di atas
sofa.
“Oh,
tentu. Aku kan, heboh, bro,” sahut Dixa. Suara itu sangat dikenali Dixa. Suara
musuhnya dulu. Lelaki itu turun dari sofa dan melipat tangannya di dada.
Memperhatikan game yang dimainkan oleh Dixa. “Jangan terlalu serius, nanti
kepalamu pusing,”
“Diam
kau. Aku sedang menembaki mereka!” sahut Dixa. Lelaki itu tersenyum. Usianya
sudah 27 tahun, tapi fisik dan wajahnya seperti remaja 17 tahun. Ia memakai
kaos oblong berwarna putih dengan celana panjang longgar berwarna hitam.
Rambutnya berwarna merah terang, begitupun dengan matanya.
Alami,
bukannya disemir. Di atas kepalanya, berdirilah sepasang tanduk berbentuk
petir. Tentulah kau tahu siapa dia.
Draganold
Bruno.
“Kau
mau main sampai larut malam, terserah. Aku sudah ngantuk,” kata Draganold. Ia
melihat arlojinya. Sebuah tulisan terpampang di sisi arloji tersebut.
“MADE
BY DRAGANOLD”
Arloji
yang ditemukan Dixa di Antartika. Lalu, Draganold naik keatas tangga, dan tidur
di kamar Dixa. Tak lama kemudian, Dixa merasa bosan dengan game. Ia pun
mematikannya dan naik keatas untuk tidur.
“Drag…
kenapa kau tidur di lantai?” tanya Dixa.
“Oh,
sengaja. Kau ingin tidur di kasur, kan?” sahut Draganold.
“Maksudku,
temani aku. Sepi…” kata Dixa. Draganold mengangguk dan tidur bersama Dixa
diatas kasur. Sekarang, mereka seakrab ini. Naga itu sudah berubah drastis.
Dixa memasang earphone di telinganya untuk mendengarkan lagu. Lalu, kesadaran
mereka berdua hilang.
“Zzzzz…”
ooo0ooo
“Angkat tangan!” terdengar
suara seorang lelaki.
“Kubilang, angkat tanganmu!” lelaki
itu membentak. Dixa membuka matanya perlahan. Ia melihat sahabatnya, Draganold,
sedang mengacungkan sepucuk pistol di dagunya. “Kalau tidak… aku akan
menembakmu, bro…”
“Apa
yang terjadi? Bukankah kita sahabat?” kata Dixa kebingungan.
“Sahabat?
Mimpi saja kau! Sejak kapan kita bersahabat? Huh, kali ini, aku tak akan
melepaskanmu. Akan kubunuh kau. Jika saja kau kabur, maka aku akan mengejarmu
sampai dapat!” sahut Draganold. Dixa mundur selangkah melihat Draganold kembali
seperti dulu. Ia mengenakan seragam sipir penjara dan membawa banyak peluru.
“Tidak
mau… tidak… mau…” kata Dixa. Ia melihat sebuah hutan belantara di sampingnya.
Sementara itu, suara sirine mobil polisi semakin mendekat. Dixa menoleh. Mobil
itu berhenti, dan seorang petugas polisi keluar dari dalam mobil dan
mengacungkan pistol.
“Berhenti
kau, naga bengis! Kemari!” katanya.
“Diaaaam!”
bentak Draganold. DOR! Ia menembak kaki polisi itu.
“Aw!
Jangan coba-coba…” polisi itu berusaha bangkit. Sementara Dixa ketakutan dan
lari masuk ke dalam hutan.
“Hei,
jangan lari! Akan kubunuh kau! Tunggu, anak ingusan!” teriak Draganold sambil
mengejar Dixa. Sementara Dixa terus lari ke dalam hutan. DOR-DOR-DOR! Draganold
juga terus menembak tak tentu arah. Lama kelamaan, ia kelelahan mengejar Dixa.
Dixa menghilang.
“Hah…
hah… tunggu saja kau! Hah… hah… aku akan… mem… bu… nuh… mu…!!!” kata Draganold.
Dixa tak lagi mendengarnya, namun ia dapat mendengar gema suaranya dari
kejauhan.
“Oh,
semoga saja aku tak bertemu dengannya lagi,” gumam Dixa. Ia memutuskan untuk beristirahat
sejenak, menunggu buah-buahan yang masak jatuh dari pohonnya. DUG! Sebuah apel
jatuh tepat di bawah kaki Dixa.
“Wah…
untung ada rezeki,” kata Dixa. Ia pun memakan apel itu sampai habis.
“Lumayanlah bisa makan apel. Ini bisa mengganjal lapar,” kata Dixa. Ia mulai
memakan daun mint satu persatu.
DOR!
Suara
pistol menggema dan memecah kesunyian.
“Kemari
kau, anak ingusan!” kata Draganold. Dixa mendelik kaget. Ia melihat Draganold
dari kejauhan. “Di situ kau rupanya… hehehe, aku tak bisa menahan nafsu
membunuhku lagi, Dixie!” kata Draganold. Ia melihat Dixa dan berusaha
menembaknya.
Sayang,
Dixa tak cukup cepat sehingga kini Draganold tepat di belakangnya. DOR-DOR-DOR!
Pistol terus ditembakkan tak tentu arah. DOR! Lengan atas Dixa terkena timah
panas itu.
“Aarrgghh!”
erang Dixa. Draganold mencabut pisau di pinggangnya. CROT! Ia menusuk kaki
kanan Dixa, lalu tangan kirinya juga ditusuk. SRIT! Pipi Dixa juga tak luput
dari goresan pisau.
“Tidak!”
jerit Dixa. Ia kembali berlari, sementara darahnya mengucur sepanjang jalan. Ia
menuruni jalan landai, dan berhenti di sebuah batang pohon. Dixa memutuskan
untuk duduk sebentar.
“Semoga
Draganold tak menemukanku,” gumam Dixa.
“Aku
tentu menemukanmu, Sayang,” Draganold sudah ada di samping Dixa.
“Tidak!
Jangan bunuh aku… tolong… aku masih punya harapan untuk hidup… hiks, hiks…”
kata Dixa sambil menangis. “Aku tak tahu bagaimana caranya menghindar dari
kejaranmu. Tapi, apa gunanya juga aku hidup jika kau terus mengejarku?
Silahkan, bunuh aku jika kau mau,” kata Dixa lagi sambil menyerahkan pisau
Draganold yang sudah berlumuran darah Dixa.
Tapi,
Draganold tak peduli dengan keadaan Dixa. Ia melarikan diri dengan pisaunya.
Malam harinya, Dixa tidur di tempat itu. Draganold kembali, tapi ia tak tahu
jika Dixa ada di sampingnya. Dixa pun tidak kaget dan terus berusaha menyalakan
api unggun.
ooo0ooo
KREK…
KREK…
Suara
api unggun terdengar jelas. Malam hari… malam bulan purnama. Lalu…
“Aku
ingin sayapku kembali agar bisa keluar dari sini,” gumam Draganold. “Oh, ya, untuk
apa berharap? Tidur saja. Aku tak peduli,”
“Aku
masih peduli dengan masa depanku,” sahut Dixa. Tak lama kemudian, Draganold
tertidur pulas. “Maaf, Drag. Ini terdengar seperti perampasan senjata, tapi aku
harus melakukan ini,” gumam Dixa. Ia mendekati Draganold dan mengambil semua
senjatanya.
Pistolnya,
pelurunya, dan juga tongkatnya. Kenapa Dixa melakukan itu? Seperti berburu
sesuatu.
“Banyak
orang bilang jika ada satu monster yang menguasai hutan ini. Tapi, itu bukan
monster. Itu virus. Dia beralih menjadi wujud nyata. Dan wujudnya adalah…
dinosaurus berbulu serigala dan bersayap elang. Mereka memanggilnya Deino. Akan
kubunuh monster Deino sebelum ia menyakiti kita semua,” kata Dixa sambil
melangkah pergi. KREK… Dixa memasukkan beberapa peluru ke dalam pistol.
Tiba-tiba…
“GRAARRHH…
ROAARRAARRHH…” terdengar suara raungan yang amat keras.
“Deino.
Dia ada di sini,” gumam Dixa. DRAP-DRAP-DRAP…
“GRAARRHH…”
“Waaaa!”
jerit Dixa. Ternyata benar. Dia berwujud seperti seekor Tyrannosaurus Rex.
Berbulu serigala dan bersayap elang. Tubuhnya berwarna biru. Dan di kepalanya
ada sepasang tanduk naga. Dixa menembaki Deino. DOR-DOR-DOR! Namun, virus itu
seolah tak peduli dengan peluru-peluru yang bersarang di tubuhnya.
Deino
tidak membunuh Dixa. Namun, ia menarik perban yang melilit di tangan kiri Dixa
dan membawanya pergi.
“Tolong!
Tidak! Jangan! Jangan!” jerit Dixa.
ooo0ooo
PLAAKK!
“Bangun!
Kau ditahan!” terdengar suara seseorang. Draganold membuka mata merahnya
perlahan-lahan. Seorang polisi sedang mengacungkan pistol.
“Ada
apa ini, Pak?” tanya Draganold sambil berusaha bangkit. Dia adalah polisi yang
kemarin.
“Kau
ditahan karena menyiksa seorang remaja bernama Ishida Dixa. Dan ini pisaumu.
Lihat, darah Dixa masih terlukis disini,” katanya. Namun, Draganold seolah tak
peduli. Ia melihat nametag yang terpasang di dada polisi itu.
“Rifle?
Itulah namamu? Hehehe, nama yang keren. Seharusnya, kau menjadi sniper saja
agar cocok dengan nama itu,” kata Draganold.
“Kau
ditahan!” tegas Rifle. Ia memborgol tangan Draganold dan menggiringnya keluar
hutan walau tak berhasil.
“Jangan!
Aku harus menemukan Dixa! Dan juga, kau dan aku harus bertahan hidup dari Deino-Virus.
Dimana senjataku? Anak payah itu pasti yang merampasnya,” kata Draganold.
“Kau
tak butuh lagi senjata di penjara, Draggie,” kata Rifle. Dan…
“ROAARRAARRHH…”
Deino meraung. DRAP-DRAP-DRAP… suara langkah kaki monster itu terdengar jelas.
Dan dari balik pohon, muncul Deino yang menenteng Dixa.
“Aaaah!”
Dixa menjerit. DOR-DOR-DOR! Dixa terus menembaki Deino.
“Jangan
kabur! Aku harus melawan Deino! Aku tak punya pilihan selain bertahan hidup!
Let’s survival!” teriak Rifle. Ia mengambil pistolnya dan menembaki Deino.
Deino mengibaskan ekornya, dan mengenai borgol yang melingkar di tangan
Draganold. Borgol itu lepas. Dixa turun dan mendekati Draganold.
“Syukurlah
kau selamat! Kau dan Rifle mencariku kemari?” kata Dixa.
“Tidak,
dia hendak menangkapku. Dan apa yang kau lakukan?! Kau merampas semua senjataku
hanya untuk membunuh monster itu? Dasar tak tahu balas budi! Lagipula, untuk apa
aku kasihan padamu jika kau begini?!” bentak Draganold.
“Maafkan
aku, Drag. Aku hanya mencoba membunuh Deino agar dia tak menyerang kita,”
“Kalau
begitu… berarti kau juga pembunuh. Kau ingin membunuh Deino tanpa alasan yang
jelas dan mengorbankan dirimu hanya untuk sebuah pembunuhan konyol? Kau akan
menerima akibatnya, Dix,” kata Draganold. “Dan kau juga terlibat kasus
pencurian senjata,”
“Jangan!”
jerit Dixa. Draganold mengacungkan pisaunya. “Pergi kau! Rifle! Draganold ingin
membunuhku!”
“Astaga,
Drag! Kau sudah benar-benar keterlaluan!” teriak Rifle. Ia bingung ingin
menembak yang mana.
“Sudahlah,
polisi! Jika kau keberatan untuk merelakan nyawamu, maka aku akan membantumu!”
sahut Draganold. Ia melirik. Di dekat pohon, kebetulan ada sebuah senapan teronggok.
Ia mengambilnya dan mengisikannya peluru.
DRRRR…
Ia
menembaki Deino. Dixa juga melihat adanya sesuatu yang teronggok. Ia
mengambilnya. Menurutmu itu senapan? Bukan. Itu adalah penyembur api.
GROOOOSSSSHHHH…
Api
terus menyembur dari mulutnya seperti seekor naga. Namun, Deino seolah tak
mempan. Banyak senjata teronggok di sini, dan tengkorak manusia yang
berserakan. Di sebuah pohon sequoia besar, tertulis sesuatu.
“DEINO’S
NEST”
Sarang
Deino. Ini adalah sarangnya, dan pastinya semua adalah milik orang-orang yang
datang kemari untuk membunuh Deino. Namun, justru mereka yang terbunuh dan
dimangsa oleh monster itu.
Baku
tembak terus terjadi. Tak lama kemudian, gas dalam penyembur api itu habis.
Dixa menjatuhkannya dan mengambil sebuah shotgun. Akan tetapi, biar ditembak
bagaimanapun, Deino tetap tidak mempan terhadap seluruh serangan. Di sisi
tubuhnya, tertulis sesuatu.
“BULLETPROOF”
“FIREPROOF”
“WATERPROOF”
Ia
tahan terhadap peluru, api, dan air. Benar-benar luar biasa.
“Sekarang,
kita tak bisa berbuat apa-apa lagi,” kata Dixa. Mereka bertiga menjatuhkan
senjatanya. Deino mendekat selangkah, dan menarik kaki kanan Rifle.
“Tidak!
Jangan!” jerit Rifle. Deino terus menyeret kaki Rifle ke belakang. Namun, ia
berhasil membela diri dan melepaskan gigitan Deino. Deino meraung dan mendekati
mereka. Mereka bertiga terpojok di sebuah pohon sequoia raksasa. Rifle
bersandar di tubuh Draganold.
“Jangan
bunuh aku,” gumam Rifle.
“Apa
yang harus kita lakukan?” tanya Dixa.
“Entahlah.
Mati di sini?” sahut Rifle. Draganold melepaskan Dixa.
“Tidak,
bukan. Yang kita bisa hanyalah… LARI!” jerit Draganold. Ia berlari diikuti Rifle
dan Dixa. Sementara itu, Deino mengejarnya. Tiba-tiba, mereka merasa panas.
Hutan belantara itu terbakar secara misterius. Apakah mereka akan terpanggang,
atau selamat. Dari kejauhan, terlihatlah sesuatu.
Seekor
pterodactyl besar dengan tubuh yang diselimuti api. Sayapnya membentang dan
membakar seluruh hutan tersebut. Ia juga mengejar-ngejar mereka. Kali ini, dua
monster mengerikan memburu mereka. Dan tak akan berhenti sebelum mendapatkan
mereka bertiga.
BERSAMBUNG…
*oh, ya. Kalo ini fotonya si Rifle
Tidak ada komentar:
Posting Komentar