“Ah,
hei, Yuichi. Apa yang kau lakukan di sini… lagi…?” tanya Karin.
“Tidak,
hanya menyapa. Aku juga ingin bertanya sebelum aku membawamu ke lapangan. Kau
baik-baik saja di sel ini? Apakah kau tidak merasa kesempitan?” tanya Yuichi.
“Ya
sempit, sih. Tapi, ini agak sedikit lega. Kenapa kau bisa tahu? Aku kan, selalu
benci ruangan sempit,”
“Kau
sengaja berkata benci terhadap ruangan sempit di hadapanku. Sebenarnya, kau
sangat takut terhadap ruangan sempit. Kau mengidap klaustrophobia, kan? Di sini
juga panas dan pengap, dan menakjubkannya, kau baik-baik saja,” kata Yuichi.
“Oh,
baiklah Anak Sains. Aku akan keluar sekarang biar klaustrophobia ini tidak
kambuh lagi,” sahut Karin.
“Yuk,
keluar. Jangan sampai aku bertemu laba-laba, soalnya aku juga punya phobia.
Arachnophobia, aku selalu takut kepada laba-laba,” kata Yuichi.
Mereka
berdua pun langsung menuju lapangan.
ooo0ooo
10
bulan kemudian…
“Aku
bebas! Ya! Aku bebas, aku bebas, aku bebas!” kata Karin kegirangan. Hari ini,
Karin dibebaskan dari penjara. Ia pun bebas tidak harus mengeluhkan
klaustrophobia yang kadang-kadang suka kambuh jika terlalu lama berada di dalam
sel. Karin dibawa dengan mobil.
Saat
ia akan masuk ke mobil, wajahnya terus tersenyum dan ceria. Matanya berbinar-binar.
Dan ketika berjalan di dalam sel, ia bertemu seseorang.
Yuichi.
Yuichi
masih tersenyum, tapi kali ini ia agak sedih.
“Selamat
tinggal, Yuichi. Mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu. Aku tak yakin kita
akan bertemu kembali,” kata Karin.
“Tidak,
Karin. Jika kita punya peluang, yakinlah kita akan bertemu lagi. Ini, terimalah
jam tanganku. Ingat aku selalu, oke?” kata Yuichi. Ia memberikan jam tangannya
kepada Karin.
“Terima
kasih, Yuichi,” sahut Karin sambil berlalu. Mata hijau Karin yang indah berubah
menjadi sembap.
Tidak. Aku tak boleh menangis hanya
karena kehilangan sipir yang selama ini menjadi temanku. Aku akan ketahuan oleh
penjaga karena berteman dengan sipir, tidak! Aku mantan tahanan. Batin
Karin.
ooo0ooo
GRUNG…
mobil melaju cepat. Karin akan dibawa pulang. Tempat tujuan mobil itu kebetulan
melewati SMA Dreamland. Sekolah itu berdiri megah sesudah direnovasi. Karin
berdecap kagum. Sekolah itu sekarang sudah bagus. Dan dia akan pulang sekarang.
ooo0ooo
SREG…
Karin
menggeser pintu rumahnya. Ia merasakan kehangatan begitu masuk ke dalam.
“Halo…
Tante Tara…? Aku pulang…” kata Karin. Namun, tak kunjung terdengar jawaban.
“Karin
sayang! Kau sudah pulang!” terdengar suara Tante Tara. Benar, Tante Tara
mendekati Karin dan memeluknya erat-erat. “Bagaimana dengan hari-harimu? Dan
apakah klaustrophobia itu kambuh? Sel penjara kan, sempit,”
“Ah,
klaustrophobia tidak usah dipikirkan lah, Tante. Yang penting, aku sudah
kembali, bukan?”
“Kau
ada teman sesama tahanan di sana?”
“Aku
tak punya teman sesama tahanan. Aku bukannya mencari teman, tapi aku ditemani,”
“Ditemani
oleh siapa?”
“Sipir,”
“Sipir?
Astaga, yang benar saja, Karin! Ya sudahlah, kita bicarakan ini di kamarmu
saja,” kata Tante Tara. Ia menemani Karin masuk ke kamarnya. Di kamar Karin
sangat tenteram namun dingin. Ruangan ini ber-AC. Tante Tara duduk bersama
Karin diatas kasurnya yang empuk. Jauh lebih empuk daripada kasur penjara.
“Ceritakan.
Aku masih bingung dengan ceritamu. Bagaimana kau bisa ditemani oleh… sipir? Aku
tak percaya. Kudengar, sipir penjara di Hard Prison itu jelek, menyebalkan,
sadis, dan suka manyun. Bukankah umurnya sudah 57 tahun?” kata Tante Tara.
“Ah,
kata siapa, Tante? Justru sebaliknya. Sipir di Hard Prison itu keren,
menyenangkan, baik hati, dan suka tersenyum. Sepertinya dia masih sweet seventeen. Untunglah dia mudah
berteman,” sahut Karin.
“Hmmh…
masih bocah rupanya. Paling-paling, dia masih SMA. Atau jangan-jangan sipir itu
juga bersekolah di SMA Dreamland. Jika kau bertemu dia, ajaklah sesekali dia
kemari,” kata Tante Tara. Karin tersenyum.
Setelah
itu, Tante Tara meninggalkannya. Tak lama kemudian, Karin terlelap. Ia
kelelahan.
ooo0ooo
“Kau sudah berpisah dari Shiro, ya?” terdengarlah
suara Harada.
“Tidak,
kok. Aku belum menemukan Shiro,” sahut Karin.
“Kau sudah menemukannya, sayang. Hanya
saja kau tidak menyadarinya. Paling nanti kalian akan menikah,”
“Menikah
dengan hantu? Ogah, ah. Aku lebih mau bersama manusia sungguhan,”
“Shiro adalah manusia, Karin. Dia telah
bereinkarnasi menjadi seseorang. Seseorang yang jika kau bertemu, dijamin kau
pasti suka,”
“Siapa
dia?”
“Kau sudah menemukan Shiro,”
ooo0ooo
Back to school!
Ya, hari ini, Karin akan masuk sekolah lagi, sama seperti yang lainnya. Ia
ingin mengenal siapa sang ketua kelas itu. Saat masuk ke kelasnya…
“Karin-chan!
Kau sudah kembali!” itu adalah suara yang sangat dikenalinya.
Haruka.
“Haruka!”
jerit Karin. Kedua sahabat itu saling berpelukan.
“Wah,
wah, wah… si tahanan hadir di kelas ini rupanya. Penjaga, ada tahanan kabur.
Tahan dia!” terdengar suara Koto. Ia menyuruh Sora dan Kai untuk menangkap
Karin. BUAK!
“Janganlah
kalian berani kepada perempuan!” terdengar lagi suara seseorang.
“Siapa
sih, dia?” tanya Karin.
“Ketua
kelas, Rin. Ketua kelas. Dia sahabatku,” sahut Haruka. “Dia datang untuk
melindungimu,”
“Jika
harus bertarung denganmu untuk melindungi teman-temanku, aku tak akan segan.
Karin, menjauhlah. Laporkan Koto kepada Bu Rumi, ya!” katanya. Tiba-tiba, Bu
Rumi datang.
“Hai,
Karin. Sudah pulang, ya?” sambut Bu Rumi. Karin tersenyum. “Koto, kau pasti
mengisengi Karin lagi, sehingga ketua kelas membelanya,”
“Maaf,
Bu,” kata Koto.
“Ya
sudahlah. Ayolah, ketua kelas, pimpin doanya,” kata Bu Rumi. Setelah berdoa,
mereka belajar. Karin mengeluarkan bukunya dan membacanya, sementara Koto membicarakan
Karin bersama Sora dan Kai. Karin tak peduli.
“Baiklah,
anak-anak! Bisakah kalian ceritakan tentang phobia? Mungkin kalian ada yang
memiliki phobia, dan sekarang, siapa yang mau maju untuk menceritakannya?”
tanya Bu Rumi tiba-tiba. Haruka maju ke depan.
“Aku
punya phobia, Bu,” jelas Haruka.
“Phobia
pada apa? Kau tahu namanya?” sahut Bu Rumi.
“Aku…
aku hanya tahu nama phobia-nya. Trypophobia!” kata Haruka. Ia pun duduk di
kursinya. Karin maju ke depan.
“Aku
punya phobia, Bu,” jelas Karin.
“Apa
itu?” sahut Bu Rumi.
“Klaustrophobia.
Aku selalu takut pada ruangan sempit dan panas, seperti dalam sel penjara,”
“Kau
punya phobia lainnya?”
“Tentu,
ada satu lagi. Kotophobia! Ini tidak beda jauh dengan klaustrophobia, dan Koto
selalu mengekangku dalam perasaan panasnya!” jerit Karin. Koto mendelik kaget.
Kotophobia? Mereka tak pernah mendengar nama phobia itu sama sekali. Tak
pernah. Bahkan Karin sekalipun.
Ia
menciptakan nama itu, karena ketakutan dan kebenciannya terhadap Koto.
“Inilah
kenapa aku selalu mengalami kotophobia. Dia selalu mengekangku,” gumam Karin.
Ia kembali duduk di kursinya.
ooo0ooo
KRIINNGG!
Bel
istirahat berbunyi keras. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Pergi menuju
kantin.
“Kau
mau main ke rumahku nanti?” tanya Haruka kepada Karin.
“Maaf,
Haruka. Aku tidak bisa. Minggu depan saja, oke?” sahut Karin. Akan tetapi,
Karin merasakan adanya sesuatu aneh di belakangnya. Seperti ada yang
mengikutinya. Namun, ia mengacuhkannya. Paling hanya murid lain. Tapi, sebuah
tangan merangkul pundak Karin dan menahannya untuk berjalan.
“Kau
menyebutku apa di kelas? Kau punya phobia kepadaku, bukan? Kotophobia, begitu
katamu. Huh, jadi jika kau memang phobia kepadaku, kau pastinya akan tunduk
kepadaku, Rin!” rupanya, itu Koto.
“Tidak!
Kotophobia tak akan kubiarkan berkembang dalam diriku! Akan kulawan phobia
ini!” seru Karin. BUAK! Koto terpental sambil memegangi pipinya yang merah.
Karin menonjoknya dengan cukup keras.
“Sialan
kau, Karin!” bentak Koto. Ia kembali bangkit dan berusaha melawan Karin. “Kata siapa
aku akan kalah dari seorang gadis?!”
“Jangan
sombong, Koto! Kau belum tentu menang! Heeaah!” teriak Karin. BUAK! DUG! TAK! Karin
menonjok perut Koto, memukul lengan atasnya, dan menyengkat kakinya sampai
terjatuh.
“Ah…
sialan, mana mungkin aku kalah dari gadis? Kau pasti banyak belajar soal
bertarung dari para tahanan di penjara, bukan? Dasar gangster, akan kulaporkan
kau!” kata Koto. Karin menggeleng.
“Aku
tak belajar apapun dari mereka. Sipir penjara itu yang mengajariku bertarung
dan bertahan hidup. Selebihnya, aku berlatih sendiri. Itulah kenapa kau bisa
dengan mudah kukalahkan,” sahut Karin. Ia pun berbalik pergi meninggalkan Koto.
Koto merengut kesal dan kembali bergabung bersama Sora dan Kai.
Koto
menatap benci kepada Karin. Anak berandalan itu tak pernah menyadari jika ia
dikalahkan oleh gadis yang selalu ia bully.
“Aku
akan mencoba untuk menjatuhkan sialan itu. Tunggu saja, Karin…” bisik Koto.
Sementara Karin, ia kembali berjalan berdua bersama Haruka menuju kantin
sekolah. Mereka berdua memesan makanan.
“Aku
pesan mie ramen satu,” kata Karin.
“Aku…
aku lebih baik makan udon saja,” kata Haruka. Tak lama kemudian, pesanan mereka
diantarkan.
“Oh,
sepertinya lezat. Aku belum sarapan sejak tadi pagi,” ucap Karin. Haruka
tersenyum. DUGH… seseorang duduk di samping Karin.
“Tidak
ada masalah, bukan?” tanya orang itu. Suaranya parau dan tidak enak didengar.
Koto.
“Terserah
kau saja,” kata Karin sambil menyedot ramen pesanannya. Koto tidak memesan
makanan, melainkan memainkan ponsel pintarnya. Ia memutar lagu K-Pop yang sudah
benar-benar dikenali oleh Karin. Lagu itu adalah favorit Koto. Baru menyetel
intro, ia langsung memajukannya ke pertengahan lagu.
Dan
lucunya, Koto benar-benar hafal bagian lagu itu. Koto menyeringai.
Neol mangchyeo noheulgeoya
“Suatu
hari aku akan melakukkan hal serupa dengan syair lagu ini padamu, Karin,” kata
Koto. Ia memberhentikan lagunya dan melangkah pergi. Karin tahu apa artinya.
“Aku
tak akan membiarkannya,” gumam Karin. Ia kembali sibuk dengan ramen pesanannya.
BERSAMBUNG…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar