Judul: Rindu
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Genre: historical fiction, drama,
religi
Rating: 4.6/5
Akhirnya,
gue pun selesai membaca buku keren karya Tere Liye ini. Sebenernya, gue mulai
tertular virus buku Tere Liye dari kakak sepupu gue yang hobi koleksi
novel-novel Tere Liye. Dan overall,
novelnya nggak ada yang mengecewakan. Novelnya bagus semua, dan terlebih,
isinya berbobot semua. Rata-rata masuk jajaran best seller loh gengs.
Seperti
biasa, gue bakalan curcol dulu sebelum memulai review. Gue harap kalian nggak bosen dengan curcol unfaedah gue ini
wkwkwk.
Gue
meminjam buku ini dari perpus sekolah gue. Awalnya, gue ragu mau minjem. Selain
karena tebel bukunya yang aje gile nggak kire-kire, gue juga ragu karena
judulnya, “Rindu”. Wah, pasti isinya
cerita romens menye-menye nih. Ogah, ah. Mending gue baca novel Tere Liye yang
lain aja deh. Lagian gue juga nggak terlalu doyan romens, apalagi yang
menye-menye, pikir gue. Lebih ke arah suudzon sih sebenernya.
Namun,
setelah temen gue meminjam buku itu dan menceritakan sebagian cuplikan
ceritanya––sekaligus ngasih tau kalau buku ini bukan buku romens menye-menye––,
pada akhirnya gue pun mendapat pencerahan untuk meminjam buku ini.
Gue
langsung menghabiskan buku ini dalam kurun waktu empat hari. Dan ternyata, gue
salah gengs. Buku ini bagus banget, bahkan nggak ada kisah cinta menye-menye
yang bikin gue mual itu. Buku ini sangat berbobot dan mengandung banyak pesan
moral yang bagus untuk direnungkan.
.
.
.
.
.
Setting cerita
diambil pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, yakni pada tahun 1938.
Meskipun masih tahun jadul, tapi gue nggak menemukan kesan yang “terlalu kuno”
di sini. Justru, kesannya lebih modern gitu, dan ini yang membuat gue asyik
membacanya. Gue sebenernya lebih suka sama cerita kontemporer, tapi yang ini
bagus juga buat bacaan gue.
Buku
ini menceritakan tentang sekelompok orang yang ingin menjalankan ibadah haji.
Untuk sampai ke Tanah Suci, mereka harus menaiki kapal. Dan, segala macam
cerita pun terjadi antar para penumpang di kapal bernama Blitar Holland ini.
Segala pelik masalah dan kejadian-kejadian, serta lima pertanyaan besar yang
muncul di kepala kelima tokoh membuat buku ini semakin seru.
Daeng
Andipati, pengusaha terkenal dari Makassar yang ternyata memiliki masa lalu
kelam sehingga benci dan dendam setengah mati kepada mendiang ayahnya. Tokoh
favorit nih.
Ahmad
Karaeng atau yang lebih akrab disapa Gurutta,
ulama terkenal yang kerap menjadi tempat menjawab pertanyaan oleh para tokoh
lainnya.
Ambo
Uleng, kelasi kapal yang irit kata yang ingin pergi sejauh-jauhnya dengan kapal
ini lantaran masih dibayangi oleh sakit akibat patah hati. Tokoh favorit gue
nih hehehe.
Bonda
Upe, guru mengaji dari anak-anak Daeng Andipati dan anak-anak di kapal, yang
memendam trauma mendalam karena masa lalunya sebagai seorang pelacur.
Anna
dan Elsa, kedua putri dari Daeng Andipati yang dijamin bikin kalian gemas
dengan tingkah laku mereka yang polos dan menghibur. Gue mah mau tuh ketemu
kakak beradik ini seandainya mereka ada di dunia nyata dan masih hidup hingga
kini.
Kapten
Phillips, kapten kapal yang mengemudikan Blitar Holland. Tidak seperti para
tentara Belanda yang menguni kapal ini, Kapten Phillips adalah orang yang baik.
Entah kenapa gue dibikin kesengsem ama Kapten Phillips ini wkwkwk.
Ruben
si Boatswain, teman satu kabin Ambo
Uleng yang perhatian dan cukup menyenangkan. Gue malah gemes sama si Ruben,
rasanya pengen cubit-cubit aja tuh wkwkwk. Di mana letak gemesnya coba? Menurut
gue, gue suka sama sifatnya yang hangat dan menyenangkan itu.
Mbah
Kakung dan Mbah Putri, pasangan tua yang paling romantis di kapal ini. Tunggu,
kisah mereka nggak menye-menye, ya. Justru, kasih sayang keduanya amat berbobot
dan yang pasti … amat mengharukan dan menyentuh hati.
Sergeant
Lucas, tentara Belanda yang sok berkuasa dan sangat membenci Gurutta setengah mati. Orang ini pengen
gue bejek-bejek sumpah, gemes banget dah. Helaw, gue nggak nyangka, ternyata
jaman penjajahan Belanda aja udah ada bad
boy macam Sergeant Lucas gini
wkwkwk.
Chef Lars, mantan kopral di marinir Belanda yang menjadi kepala koki di kapal Blitar Holland. Wataknya yang keras dan tegas, terutama kepada Ambo Uleng bikin gue gondok. Gue sempet ngira dia ini salah satu anteknya Sergeant Lucas, eh ternyata bukan deng, dia orang baik taunya wkwkwk.
Oke,
back to the story. Meski seluruh
cerita terkesan seperti slice of life
dengan bumbu religi, tapi tetap aja pesan moralnya nggak bisa dilewatkan.
Cerita ini adalah bacaan bagus yang patut dibaca buat kalian yang pengen
mendapat pencerahan. Bila membahas alur ceritanya, alur ceritanya amat menarik
dan nggak berbelit-belit.
Meski
terbilang bacaan “berat”, tapi bahasanya nggak berat-berat amat kok. Kalian
bakal dihibur oleh Anna dan Elsa, jadi kesan “berat” nggak bakal terasa lagi.
Kisah percintaan Mbah Kakung dan Mbah Putri juga dibingkai sedemikian rupa
sehingga menarik, tetapi mengharukan.
Gue
memang nggak nangis, tapi gue sedih pas baca adegan Mbah Putri meninggal
sebelum mereka sampai ke Tanah Suci. Pada akhirnya, jasadnya dibuang ke laut.
Mbah Kakung merasa keinginannya tidak tercapai, yakni dia ingin jasadnya
dikuburkan bersebelahan dengan Mbah Putri. Tetapi, sesudah naik haji, Mbah
Kakung pun meninggal dunia. Jasadnya dibuang ke laut, di tempat yang sama
dengan Mbah Putri sehingga jasad mereka bersebelahan di dasar laut.
Mengharukan?
Iya, jelas. Nyesek loh bacanya.
Inti
dari cerita ini adalah lima pertanyaan dari kelima tokoh yang telah gue
sebutkan di atas.
Daeng
Andipati yang merasa terbebani akibat dendam kesumat kepada mendiang ayahnya,
pada akhirnya menemukan pencerahan setelah dinasehati Gurutta. Bonda Upe yang
trauma dengan masa lalunya sebagai pelacur, juga telah mendapat pencerahan dari
Gurutta. Begitu pula dengan Ambo
Uleng yang ingin pergi jauh karena patah hati, pada akhirnya berhasil disadarkan
oleh Gurutta. Mbah Kakung yang
berubah semenjak kepergian Mbah Putri, juga berhasil disadarkan oleh Gurutta.
Siapakah
pemilik pertanyaan terakhir? Yakni Gurutta
sendiri. Pertanyaan dari sang “penjawab pertanyaan” itu akhirnya berhasil
dijawab oleh Ambo Uleng, si kelasi pendiam.
Pribadi,
gue paling suka dengan tiga tokoh di sini, yakni Ahmad Karaeng alias Gurutta, Daeng Andipati, dan Ambo Uleng.
Entah kenapa, pembawaan mereka selalu bikin fell
in love. Gurutta yang tenang dan
bijak, Daeng Andipati yang tenang tapi sebenarnya emosional bila mengingat
ayahnya, serta Ambo Uleng yang amat pendiam.
Gue
suka dengan bagian klimaks yang menampilkan bagaimana Blitar Holland diserang
oleh sekawanan perompak dari Somalia. Sumpah, itu adalah bagian paling tegang
yang gue baca di buku Rindu ini. Saat di mana Gurutta melontarkan pertanyaan besarnya, yang akhirnya berhasil
dijawab oleh Ambo Uleng.
Pada
akhirnya, mereka pun sampai di Mekkah dan menunaikan ibadah haji di Masjidil
Haram.
Bagi
kalian yang menanyakan plot twist,
tentu saja di cerita ini ada plot twist-nya.
Plot twist-nya bikin gue tercengang
malah. Teknik red herring-nya cukup
membuat gue tercengang. Plot twist-nya
hanya terjadi dalam kisah cinta Ambo Uleng yang sebelumnya mengenaskan, tapi
berubah jadi bahagia.
.
.
.
.
.
Entah
kenapa, gue selalu suka dengan gaya penulisan Tere Liye yang mengalir begitu
saja. Juga, nama-nama tokoh yang anti-mainstream.
Tapi tetep bagus kok. Bahasanya juga nggak terlalu ribet dan berbelit-belit.
Justru amat santai dan mengalir. Kalimat deskriptifnya seolah membawa pembaca
ikut masuk ke cerita dan merasakan bagaimana berada dalam kapal Blitar Holland.
Hal
pertama yang gue pikirkan saat melihat konsep “lima pertanyaan besar” di cerita
ini adalah buku Tere Liye yang pernah terbit tahun 2009. Konsepnya memang agak
mirip dengan buku “Rembulan Tenggelam di Wajahmu” yang terbit lima tahun
sebelum “Rindu”. Hanya saja, bedanya kalau lima pertanyaan dalam Rembulan
Tenggelam di Wajahmu hanya dimiliki oleh sang tokoh utama, tapi kalau yang ini,
lima pertanyaan besar itu dimiliki oleh kelima tokoh dengan latar belakang yang
berbeda-beda.
Sementara
konsep cerita religi dan sesuatu yang berbau “laut” mengingatkan gue dengan
buku Tere Liye yang terbit lebih lama lagi, yakni “Hafalan Shalat Delisa” yang booming banget itu. Meski Rindu nggak
ada mirip-miripnya dengan Hafalan Shalat Delisa, tapi cerita religi, setting yang berada di tengah laut,
serta tokoh berupa gadis kecil membuat gue teringat dengan cerita itu. Yep,
cerita yang sukses bikin gue banjir air mata.
Gue
sangat merekomendasikan buku ini kepada kalian yang pecinta novel-novel Tere
Liye. Novel Tere Liye sebenarnya udah nggak perlu diragukan lagi kualitasnya
wkwkwk. Bagi yang mencari bacaan berupa novel sejarah yang nggak terlalu berat,
silakan beli Rindu. Nggak bakal nyesel baca ceritanya.
Mengharukan,
berbobot, dan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar