“Ahhh…”
polisi itu terhuyung ke depan dan menabrak kaca mobil patrolinya. Wajahnya
mulai merosot ke bawah dengan cepat. Namun sebelum ia benar-benar jatuh ke
tanah, ia melihat tas ranselnya yang sengaja diletakkan di jok sopir mobilnya.
BRUK…
Polisi
itu ambruk ke tanah. Tubuhnya benar-benar lemah. Lemah lunglai. Ia seperti
sehelai kain yang tak berdaya. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha membuka pintu
mobil. Akhirnya, ia berhasil memasuki mobil patrolinya dan meraih tas
ranselnya. Ia membuka resleting ransel itu dan melihat sepuluh kantong berisi
minuman pada awalnya yang kini telah kosong melompong.
“Sial,
sudah habis semua,” gerutu polisi itu. Ia pun berusaha melangkah keluar dari
mobil. Beberapa menit yang lalu, ia meminta izin kepada komandannya untuk
beristirahat sejenak karena tubuhnya sangat lemah hari ini. Mereka sedang
menyelidiki kasus pembunuhan yang terjadi di sebuah lokasi kebakaran. Sang
pembunuh menusuk korbannya dikelilingi api yang berkobar-kobar.
Korban
berhasil dievakuasi dan korban diduga masih hidup. Di samping korban itu,
berdirilah seorang wanita cantik berambut pirang alami. Polisi itu menjilat
bibirnya. Matanya berbinar-binar. Kemudian, ia berlari dengan tertatih-tatih
menuju wanita itu. Ia membawa sang wanita menuju sebuah gang yang sepi dan
gelap.
“Apa
yang akan kau lakukan?” tanya wanita itu dengan polosnya. Senyum lebar polisi
itu terukir di bibirnya. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga sang wanita.
“Parfum
yang kau pakai sangat wangi dan sedap. Ada yang lebih wangi dan sedap daripada
parfum yang kau pakai,” kata polisi itu dengan nada merayu.
“Apa
yang lebih wangi dan sedap daripada parfumku?”
“Biar
kuberitahu. Hal ini lebih wangi, sedap dan menggiurkan daripada parfum itu,”
“Ayolah,
beritahu aku…”
“Darahmu yang merah pekat.
Lebih wangi, sedap, dan menggiurkan… HAHAHA…” tawa
polisi itu pecah. Ia membuka mulutnya lebar-lebar. Taring panjangnya terlihat.
Taring itu siap menusuk leher sang wanita dan sang polisi tinggal menghisap
darahnya. Namun, sebelum taring itu menancap di leher wanita cantik tersebut,
sang polisi merasa ada yang aneh.
Ada
seseorang mendekat. Tercium bau sangit beserta bau gosong. Dan juga bau anyir.
Dari kejauhan, ia melihat api di gedung tempat sang korban tadi dilukai sudah
padam. Dari depan gang, ia melihat seorang petugas pemadam kebakaran yang
berdiri tegap lengkap dengan jaket tahan apinya, namun perlengkapan
pernapasannya sudah dilepas.
Jaketnya
sudah berwarna oranye kehitaman. Gosong. Lalu, darimana asal bau anyir tersebut?
“Kau
menjadi lemah lunglai, bukan? Apa karena anemia? Hahaha…” petugas itu tertawa
lebar.
“Korban tadi tidak jadi mati karena aku melawan pembunuhnya, dan
alhasil, aku mendapatkan ini,”
Seringai
bengis dan tatapan tajam ia sorotkan kepada polisi itu.
“Belum
dapat asupan darah selama seminggu?” ejeknya.
“Kau…
apa yang kau lakukan di sini?!” seru polisi itu kesal. Petugas itu menggulung
lengan jaketnya sampai siku.
“Aku
punya lebih dari satu liter darah jika kau mau… HAHAHA…” lagi-lagi
ia tertawa. Luka sayatan itu terlihat menganga di tangan kanannya. Darah
mengucur deras dari urat nadinya. Namun anehnya, ia tidak pingsan ataupun mati
kehabisan darah. Ia masih bisa bertahan dan mengancam polisi itu agar tidak
menghisap darah sang gadis.
“Tidak
akan! Aku tidak mau meminum darah serigalamu yang sudah ternodai oleh dosa yang
menggunung itu! Kau hanyalah serigala yang tidak tahu diri, jika kuminum
darahmu maka aku akan menjadi kotor seperti dirimu!” teriak polisi itu dengan
sumpah serapahnya.
“Baiklah,
jika kau butuh darah, aku punya sekantong untuk memuaskan keinginanmu. Ayolah,
ambil ini. Aku juga tidak tega melihatmu mati lemas,” kata petugas itu. Sang
polisi mengangguk dan melepaskan wanita yang selama ini dipegangnya dan
dijadikan tumpuannya agar tidak terjatuh.
Polisi
itu memasang muka galak.
“Aku
tidak percaya padamu. Kau hanyalah serigala rendahan. Jika kau menantangku
bertarung, sekaranglah saatnya, ********…”
“Maaf,
lain kali saja, ******…” petugas itu beranjak
pergi meninggalkannya. Sayang sekali sang polisi sangatlah membenci petugas
pemadam kebakaran itu. Saking bencinya, ia terbakar oleh nafsu dan kebencian
dan menjerumuskannya ke dalam perbuatan keji.
Sang
polisi melesat ke depan. Dan…
***
Pemuda
itu membuka matanya perlahan. Ia tidak tahu ia di mana. Yang ia lihat pertama
kali adalah ruangan putih dengan lampu yang menyilaukan matanya.
GRADAK…
GRADAK…
Pemuda
itu berada di atas kasur dorong yang tengah didorong oleh beberapa suster.
“Di
mana aku? Di mana…” pemuda itu nyaris tak bisa membuka mulutnya. Mulutnya
terkunci oleh sesuatu yang lengket, hangat, dan basah.
Darah.
Ya,
darah mengalir dari mulutnya. Begitupun dengan kepalanya. Ia merasakan darah
yang masih mengalir deras dari kepalanya. Dengan kepala yang pusing, pemuda itu
berusaha melongok ke bawah.
Tubuhnya…
tubuhnya juga babak belur. Ia tak bisa menggerakkan tangan kirinya. Jaket
anti-api yang ia kenakan sudah tidak berwarna oranye lagi. Sudah ternoda oleh
darahnya yang menempel. Rasa sakit ia rasakan di sekujur tubuhnya. Tak lama
kemudian, mata turquoise mengkilat pemuda itu kembali tertutup. Ia begitu
lemah, terlalu banyak rasa sakit yang ia rasakan.
***
Selanjutnya,
pemuda itu kembali membuka matanya. Ia terbangun di dalam ruangan ICU. Kali
ini, ia mengenakan baju rumah sakit yang senada dengan warna matanya.
“Hai,
kau sudah sadar?” terdengar suara di sampingnya. Pemuda itu menoleh ke kiri.
Namun, kabel-kabel yang melilitnya membuatnya sulit bergerak. “Kau bisa dengar
aku?”
Pemuda
itu mengangguk, “Kau mengerti perkataanku?” orang itu kembali bertanya. Pemuda
itu kembali mengangguk. “Siapa namamu?”
Pemuda
yang terus menerus ditanyai itu menatap pria tinggi berseragam dokter di
depannya dengan tatapan bingung.
“Aku?
Namaku… nama…” pemuda itu bicara dengan terbata-bata.
“Namaku
Roy Cusack. Namamu siapa?” pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Roy Cusack
itu tersenyum kepada sang pemuda.
“Aku…
aku tidak tahu. Namaku, atau siapa diriku. Bahkan aku merasa bukan siapa-siapa.
Aku hanya merasa seperti jiwa kosong yang melayang,” ujar pemuda itu. Roy hanya
menatap pemuda itu dengan tatapan kosong.
“Mungkin
kau mengalami amnesia,”
Pemuda
itu membelalak kaget.
“Amnesia?”
tanyanya. “Kurasa aku pernah mendengarnya…”
“Tentu
saja. Penyakit hilang ingatan,” sahut Roy, kemudian ia beranjak pergi
meninggalkan pemuda itu. Pemuda itu berpikir sejenak, walaupun tidak ada
satupun memori di otaknya yang bisa ia ingat. Bahkan, ia tidak tahu siapa
namanya atau siapa dirinya. Matanya menerawang ke seluruh ruangan, berusaha
berpikir, namun apa boleh buat. Amnesia telah mengelabui otaknya.
Tepat
di luar pintu, tampak siluet dua orang sedang bercakap-cakap di balik jendela
pintu yang buram. Tak lama kemudian, dua orang itu masuk. Roy, sang dokter co-as yang tadi masuk bersama seorang
suster wanita.
“Hai,
Nak. Perkenalkan, ini Leah Camellia. Dia adalah suster di sini. Kami sudah
mengetahui siapa namamu,” kata Roy. Suster cantik bernama Leah itu membaca
papan nama pasien yang digenggamnya.
“Carlos
Casena. Itulah namamu,” kata Leah sambil melempar senyum kepada Carlos. Carlos
menjadi kaget.
“Carlos?
Itukah namaku?” tanya Carlos dengan wajah bingung. Memang, sejak awal ia selalu
bingung akan segalanya.
“Ya,
nama yang keren, bukan? Carlos artinya jantan. Baiklah, setelah luka-lukamu
sembuh, kau bisa pulang ke rumahmu,”
***
Seminggu
kemudian, Carlos sudah sembuh dari luka-lukanya. Kemarin, Roy memberikan
secarik kertas kepadanya yang berisi alamat rumahnya. Roy dan Leah sudah
berusaha sekuat tenaga untuk membuat Carlos teringat kembali akan memorinya
selama ini.
Namun,
hasilnya nihil, sebab amnesia itu sangatlah parah. Apa yang bisa memulihkan
ingatannya? Dengan menyetrum tubuhnya, itu mustahil. Tidak mungkin juga memukul
kepalanya dengan batu ataupun panci, sebab mungkin itu akan membuat ingatannya
semakin melayang dan akhirnya kepalanya kosong.
Seperti sebuah komputer yang di hack
atau baru di-update.
IT’S
ALL BLANK
***
Carlos
kembali pulang ke rumahnya. Walaupun ia tak tahu apapun soal rumahnya. Ia melangkah
masuk ke dalam rumahnya yang dingin seperti kulkas dan menuju kamarnya yang ada
di lantai dua. Sebuah robot berbentuk Nessie dengan bandana merah yang mengikat
lehernya telah menunggu di kasurnya.
Dia bernama
Nelson Robert, robot peliharaan Carlos sekarang. Namun, ketika melihat robot
itu, Carlos justru menjerit sekeras mungkin.
“AARRGGHH!
Makhluk aneh macam apa kau ini, dasar sialan?!” jerit Carlos. “Kau harus keluar
dari rumahku sebelum aku membunuhmu!” kemudian Carlos mengambil sebuah pemukul
baseball yang ada di sampingnya. Ia mengangkat pemukul itu tinggi-tinggi.
“Adakah
kata-kata terakhir?” ancamnya. Nelson hanya terdiam.
“Hei,
jangan gila, Carl. Aku adalah peliharaanmu. Tidakkah kau mengingatnya?” Nelson
kemudian berbicara. “Letakkan pemukul baseball itu sekarang. Jangan buat benda
itu rusak ketika menghantam tubuh titanium-ku,”
Carlos
pun meletakkan pemukul baseball itu. “Maafkan aku…”
“Ya,
ya, ya. Tidak masalah. Kenapa kau bersikap seperti orang bodoh?” Nelson
mengernyitkan dahinya. Kemudian, ia melompat ke pelukan Carlos. “Ceritakan
padaku, bro,”
“Well,
sebenarnya aku tak tahu siapa diriku. Aku hanya merasakan darah membasahi
seluruh tubuhku. Mungkin aku dihajar. Sesaat kemudian, aku bertemu dengan
seorang dokter bernama Roy Cusack dan suster Leah Camellia. Aku tidak bisa
mengingat apapun. Namun tiba-tiba, suster Leah memberitahukan padaku jika
namaku adalah Karurosu…” perkataan Carlos terputus.
“Hus,
namamu Carlos, bodoh!” potong Nelson. “Mungkin itu ejaannya dalam bahasa
Jepang. Sudahlah, biar kuperiksa kau. Tindakanmu mencurigakan. Kau terlihat
kikuk, bodoh, dan tidak dapat mengingat apapun. Kau pasti sedang bercanda,”
Nelson
pun melompat dan duduk di kasurnya. Kemudian, matanya mengeluarkan sebuah laser
merah. Ia mendiagnosis Carlos.
“Oi,
kau terkena amnesia, Carl,” kata Nelson. “Amnesia yang sangat parah. Dari hasil
diagnosa ini, kau terkena amnesia parah karena seseorang memukul kepalamu
sebanyak lima kali,”
Carlos
menatap Nelson dengan tatapan bingung. Namun, sesaat kemudian, matanya
mendelik.
“Aakkhh…”
erangnya pelan. Carlos terduduk sambil memegangi kepalanya. Nelson panik dan
bertanya padanya.
“Ada
apa, Carl?” tanya Nelson.
“Aku…
aku seperti mengingat sesuatu…”
BERSAMBUNG…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar