Dixa
khayalan itu melambaikan tangannya kepada dirinya sendiri dari dunia nyata.
“Sayang
sekali aku berasal dari alam mimpi,” katanya.
“Yeah,
sayang sekali kau harus mati sekarang,” terdengar suara lelaki yang sangat
dikenalinya. Dixa khayalan itu menoleh. Terlihat Draganold dari khayalannya
tengah memegang pistol. Ia menyeringai bengis. “Hahaha… silahkan saja rasakan
bagaimana peluru ini bertamu ke jantungmu,”
“Tidak!
Jangan lakukan itu!” jerit Dixa.
“Kau
pikir aku akan mengasihanimu, hah? Tidak akan!” sahut Draganold. Ia
mengacungkan pistolnya ke dagu Dixa. Rifle perlahan bangun. Ia masih mengingat
tujuan sebenarnya. Menangkap sipir bengis itu dan tugasnya selesai. Ia
mendekati Draganold yang asli.
“Kau
yakin itu dirimu? Jahat sekali, bro,” kata Rifle.
“Aku
tak tahu. Itu aku dari dunia khayalan,” sahut Draganold. Dixa yang asli
mendekati Draganold.
“Aha,
aku tahu! Saatnya aku berakting, Drag,” kata Dixa. Ia melangkah ke depan dan
melindungi Dixa dari khayalan di kepalanya. Dengan beraninya ia berdiri di
hadapan Draganold. “Maaf, tolong berhenti, Tuan! Kau tahu tidak, penderitaan
yang dirasakan olehnya?!” bentak Dixa.
“Aku
sudah tak punya rasa peduli,” sahut Draganold.
“Jangan
sekali-kali kau menyakiti dia lagi! Kalau kau ketahuan menyakitinya hanya untuk
bersenang-senang, awas saja! Jika aku melihatmu menyakitinya, maka aku akan
menyetrum dirimu sampai mati!” teriak Dixa. Tubuh Dixa mengkilat sesaat dan
tiba-tiba seluruh listrik di kantor itu padam. “Uwaahh!” erang Dixa. Lalu,
semua listrik kembali menyala.
“Woo!
Akting yang bagus, Ishida!” puji Carlos.
“Memangnya
aku peduli apa?” kata Draganold. Dixa merasa marah. Carlos mendekatinya.
Seketika matanya berubah menjadi merah dan sepasang telinga serigala berdiri
diatas kepalanya.
“Berani-beraninya
kau menyakiti sepupuku. Jika kau menyakitinya sekali lagi, maka aku akan
mencabik-cabik dagingmu dan memangsamu mentah-mentah. Karena… aku adalah
werewolf… hahaha, kau mau merasakannya?” kata Carlos dengan suara yang mengerikan.
Draganold membisu ketakutan.
“Aku
bisa saja memasukan peluru perak ke dalam sini dan menembakmu dengan mudah,”
kata Draganold. Oh, rupanya dia masih berani. Carlos menarik sesuatu di
belakangnya.
“Aku
bisa menghindari semua senjata dengan samurai brutalium ini. Wolf Blade. Ini
bisa memotong berlian, peluru, bahkan bisa memotong kepalamu sekaligus jika kau
tak menjaga ucapanmu, Kadal Bersayap,” ancam Carlos. “Samurai ini gaib dan
hanya terlihat jika aku mengeluarkannya. Sangat mematikan, akurat, dan memiliki
sifat seperti bumerang. Tak pernah ada di dunia ini,” kata Carlos lagi. Kali
ini, Draganold menjadi sangat ketakutan.
Setelah
itu, Carlos menjadi normal kembali. Ia berbalik dan meninggalkan Draganold.
Mereka merasa tugasnya sudah selesai dan tidak ada virus yang keluar. Akan
tetapi…
“Isi komputer anda akan beralih wujud ke
dunia nyata dalam lima hitungan. Lima… empat… tiga… dua… satu… isi komputer
akan segera beralih,” terdengar suara operator wanita dari
komputer itu.
“GRAARRHH…”
“Kita…
kita harus lari dari sini! Mungkin itu virus yang akan beralih wujud! Lari!”
teriak Dixa. Dixa yang asli. Mereka semua berlari keluar, menghindari
virus-virus yang akan segera mengamuk. Namun, Carlos kecil dari khayalan tetap
berdiri di depan komputer.
“Aku
ingin melihat wujud virus itu,” katanya. Dan dirinya yang dewasa segera
mencegahnya.
“Diriku,
kita harus pergi dari sini! Kau tak bisa melihat wujud virus itu, atau kau akan
mati! Ayo, lari!” ajak Carlos. Ia menggendong dirinya tersebut. Ia berusaha
berlari menuju lift. Namun, di belakangnya tak ada ledakan, hanya kilatan
cahaya sesaat.
“GRAARRHH…”
Carlos
menuruni lift dan akhirnya ia sampai di lantai bawah.
“Carlos,
kau baik-baik saja!” kata Sebas.
“Ya,
aku baik-baik saja, tapi virus itu…” sahut Carlos. Semuanya memperhatikan
gedung itu. PRAANNGG! Seluruh kaca pecah, dan pintu utama jebol begitu besar.
Terlihatlah monster sebesar Tyrannosaurus Rex. Berbulu serigala dan bertanduk
naga.
“GRAARRHH…
ROAARRHH…” ia meraung. Monster itu berjalan dan membuat sekitarnya jadi
bergetar.
“Itu
Deino!!!” teriak Dixa dari khayalan. Ia begitu ketakutan. Wajahnya pucat pasi.
Mereka semua melarikan diri. Deino tak ingin mangsanya lari begitu saja. Ia
membentangkan sayap elangnya. Dan ia pun terbang. Kini, Deino berdiri diatas
pencakar langit.
“GRAARRHH…”
“Aakkhh!
Tidak! Jangan bunuh aku! Jangan bunuh… aku…” kata Dixa. Ia pingsan begitu saja.
Deino meraung tanpa henti. Seluruh warga yang ada di sana lari tunggang
langgang. Berusaha menyelamatkan diri mereka dan menghindari Deino.
“Draganold!
Bawa Dixa ke tempat aman!” suruh Rifle. Draganold dari khayalan itu dengan
terpaksa membawa tubuh Dixa ke teras sebuah ruko. Deino pasti tak akan
menemukannya. Namun, naga itu salah. Deino tak akan melepaskan mangsanya begitu
saja. Ia bisa melacak mangsanya dimanapun.
BRAK!
Deino
menghancurkan bar ruko itu. Dixa siuman tiba-tiba.
“Uwaahh!”
jerit Dixa. DUG! Dixa menendang moncong Deino begitu keras. Draganold terpojok
sementara Dixa sendirian bertarung dengan Deino. Setelah itu, Deino kabur. Dixa
dan Draganold kembali ke depan gedung itu dan menemui diri mereka yang asli.
Tiba-tiba…
Dari
kaca gedung itu terlihat cahaya berwarna oranye, begitu juga dengan pintu
depan. Semua orang yang ada di dalam melarikan diri keluar. BRUAK! PRANG!
Jendela lantai ketiga dan keempat jebol. Seekor monster mengerikan keluar.
Pterodactyl raksasa dengan tubuh diselimuti api keluar dari dalam gedung. Ia
memekik.
“Itu…
itu adalah virus paling berbahaya seantero dunia…” kata Sebas. Ia membisu
ketakutan.
“Bukan
lagi seantero dunia, tapi… sejagat raya dan bahkan bisa… membunuhmu, sobat…”
sahut Carlos.
“Itu…
itu… itu… itu adalah… Firedactyl!!!” jerit Dixa yang asli. “Ya, ya! Dia yang
meneror mimpiku! Di penghujung mimpi, dia membakar hutan dan membuatku terjebak
di dalamnya!”
“Kita
harus mengalahkan Deino dan Firedactyl sebelum mereka mengalahkan kita!” teriak
Sebas. “Eh, tapi kita membutuhkan anti-virus yang sangat kuat untuk mengalahkan
mereka!”
“Sudahlah,
Sebas! Lebih baik kita lawan mereka dulu sebisa kita!” suruh Dixa. Tak lama
kemudian, aparat keamanan datang. Polisi dan tentara. Mereka sibuk menembaki
Deino. Suara desing peluru terdengar nyaring, memecah keramaian. Perang Dunia
kembali terjadi. Namun, ini adalah perang melawan virus. Jika mereka tak segera
dihentikan, maka dunia ini akan hancur oleh virus.
Akan
tetapi…
Warga
yang berlari ke arah barat kembali ke arah timur. Ada apa? Cahaya oranye
terlihat sangat terang dan makin lama makin mendekat. Cahaya ini juga panas.
“KEBAKARAN!!!”
jerit para warga. Mereka semua menoleh. Firedactyl terbang membentangkan sayap
apinya. Sayap itu membakar segalanya yang ada di sekitar. Kebakaran hebat telah
terjadi.
“Astaga…
Carl, kau bisa mengatasi ini?” tanya Dixa.
“Entahlah.
Aku tak bisa mengatasinya sendiri. Aku memerlukan bantuan,” sahut Carlos.
“Tapi,
Carl. Kau itu kan, pemadam kebakaran!”
“Iya,
aku memang pemadam kebakaran, tapi setidaknya aku butuh bantuan! Pos pemadam
kebakaran terdekat, dimana itu? Atau, aku bisa memanggil petugas dari pos
tempatku bekerja!” kata Carlos. Dixa segera memanggil petugas pemadam
kebakaran. Tak lama kemudian, raungan sirine terdengar keras. Warga menyingkir.
Mobil-mobil
pemadam kebakaran telah tiba di tempat. Salah seorang petugas turun dari
mobilnya. Tidak, itu bukan petugas. Pelatih. Ia mendekati Carlos.
“Carl,
kau harus ambil bagian dalam tugas ini,” suruhnya.
“Aku
harap aku bisa, Finn. Tapi sepertinya, ini akan jauh lebih sulit. Kau, aku, dan
lainnya akan menjadi… The Virusfighter. Bukannya The Firefighter,” sahut
Carlos.
“Baiklah,
terserah kau saja,” kata Finn. Ia meninggalkan Carlos. Carlos berharap, andai
saja ada yang bisa menyelamatkannya. Ia tahu, tanpa jaket anti-api, ia akan
mati terpanggang oleh Firedactyl.
DOR!
Firedactyl
tampak kewalahan. Sebutir peluru telah menembus tubuhnya. Terbangnya jadi tidak
stabil. Tapi setelah itu, ia kembali stabil. Carlos berhasil mengelak. Hampir
saja ia terkena peluru. Namun, siapa yang menembak reptil terbang itu? Carlos
menoleh.
“Draganold?”
Carlos kaget. Draganold yang asli itu tersenyum.
“Aku
akan mengalahkan Firedactyl. Daripada kau kebingungan ambil bagian untuk
memadamkan api, lebih baik kau ambil bagian dalam hal ini, Carl,” kata
Draganold.
“Oke,
Drag. Kau punya pistol?”
“Tentu
saja aku punya!” sahut Draganold. Ia melemparkan sepucuk pistol kepada Carlos. Carlos
mengacungkan pistolnya dan mengedipkan sebelah mata.
DOR-DOR-DOR!
Baku
tembak yang seru terjadi. Kedua lelaki keren itu terus menembaki Firedactyl.
Firedactyl sepertinya sudah tidak tahan. Ia kabur.
“GRAARRHH…”
sepertinya Deino belum menyerah.
“Deino
masih hidup, Carl, Drag!” kata Dixa. Para aparat yang menembakinya tampak
kewalahan. Deino kembali bangkit. Ia membentangkan sayapnya. Terlihatlah
sekujur tubuhnya yang berlubang dengan ratusan peluru bersarang di dalamnya.
Tiba-tiba…
DOR-DOR-DOR-DOR-DOR!!!
Peluru-peluru
itu kembali dipantulkan olehnya. Beberapa aparat gugur dalam hal ini. Sementara
Deino belum puas dan tetap memantulkan peluru. Draganold dan Carlos
menembakinya, tapi percuma. Peluru itu terus memantul. Akhirnya, Dixa mengajak
mereka berdua untuk berlindung. Tak lama kemudian, serangan peluru berhenti.
Sepertinya
Deino kehabisan peluru untuk dipantulkan. Dixa dan lainnya berlindung dalam
mobil polisi bersama Rifle dan petugas polisi yang lain.
“Ayolah,
teman-teman. Kita tidak bisa menyerah begitu saja. Deino dan Firedactyl memang
kuat, tetapi mungkin saja kita bisa merobohkan mereka. Aku tahu titik-titik
lemahnya dan bisa dihantam dengan peluru,” kata Dixa.
“Dimana
titik lemahnya?” tanya Rifle.
“Di
bagian ekor, mulut, dan kantung mata. Ayo, kita tembaki lagi Deino!” sahut
Dixa. “Tapi, kita butuh pakaian khusus. Sepatu, rompi anti peluru, dan helm,”
“Ya,
kita butuh itu,” kata Rifle. Rifle meminjam semua keperluan dari polisi di
sekitarnya. Mereka pun memakai itu semua di dalam mobil polisi. Tak lama
kemudian…
“Hei,
Deino!” panggil Dixa. Deino menoleh. Tampak olehnya Dixa dan lainnya, baik yang
khayalan maupun yang asli telah memakai perlengkapan khusus. Mereka membawa
pistol dan senapan. Memakai sepatu khusus, rompi anti peluru, dan helm.
CREK…
“Menyerahlah,
Deino,”
BERSAMBUNG…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar