Review
Judul: friend ZONE
Penulis: Vanesa Marcella
Penerbit: Bentang Pustaka
Genre: fiksi remaja, drama, slice of
life, romance
Rating: 2.4/5
Hai!
Kembali lagi sama si weirdo yang
masih nekat nge-blog wkwkwk. Entah
kenapa blog ini isinya jadi review buku. Tapi, gue emang maunya
begitu sih. Berhubung akhir-akhir ini gue hobi banget PDKT ama buku-buku cakep
yang mejeng di gramed dan perpus sekolah, toh, nggak ada salahnya buat di-review, kan?
Kali
ini, gue balik dengan review buku
lain yang berjudul “friend ZONE”. Sebenernya, gue udah lama banget beli buku
ini. Yep, tepatnya pada akhir tahun 2017. Udah lama banget, kan? Tapi, gue baru
review sekarang setelah mengerti
jalan ceritanya sepenuhnya, dan tentu saja …
… BESERTA SEMUA KEJANGGALAN YANG ADA
DI SINI ….
Nggak
percaya? Silakan simak review dari
gue. Gue nggak mau tanggung jawab kalo kalian jadi nyesel gara-gara udah beli
buku ini wkwkwk. Oke, untuk pembukaan, biar gue ceritain dulu awal mula gue
berjodoh dengan buku ini.
Jadi,
awalnya temen sekelas gue yang berinisial A bawa buku ke sekolah. Dari cover-nya, kayaknya gue udah tertarik.
Usut punya usut, ternyata itu adalah buku friend ZONE yang gue punya saat ini.
Waktu itu, bukunya udah dibabat duluan sama temen gue yang berinisial K sebelum
gue sempet pinjem.
Nah,
pas ada kerja kelompok bareng K dan temen gue yang lainnya, kebetulan si K
kerja sambil baca buku friend ZONE ini. Karena tertarik, gue pun membacanya
sekilas di bagian klimaksnya. Menurut gue, klimaksnya menarik banget.
“Wah,
sialan bener nih si C****s, udah sengaja nabrakin si A**l. Ish!”
“Eh,
kayaknya si D***d ganteng juga, ya wkwkwk.”
“Watdehek,
ini ada tiga cogan yang bikin gue klepek-klepek loh. F**n, A**l, S****n.”
Gue
pun bergumam begitu.
IDENTITAS DAN NAMA TOKOH YANG KENA SENSOR
KPI AKAN DI-REVEAL NANTI.
Oke, besok-besok gue beli nih buku,
pikir gue demikian.
Selang
beberapa hari kemudian, gue pun beneran cabut ke toko buku dan beli buku friend
ZONE. Karena, gue pengen punya buku itu sendiri. Setelah beli, gue pun langsung
baca bukunya. Setengah baca bareng temen gue, dan setengah lagi baca sendirian
di rumah.
Anjiiiiiiirrrrrrr bikin bapeeeeerrrrr
gileeeeeee. Bintang lima lah buat buku ini, bapernya nancep ampe ke bool-bool.
Gue
hobi banget baca novel itu. Tiap hari gue baca, ampe gue apal setiap kata-kata
dan adegannya. Namun, dua tahun kemudian, gue pun baru menyadari
kejanggalannya. Mari kita kupas satu per satu dari plot hingga review cerita yang kemungkinan besar
bakalan nyelekit.
.
.
.
.
.
Bercerita
tentang sepasang sahabat, yakni Abel dan David. Abel dan David sudah bersahabat
sedari kecil, dan David sendiri berjanji akan terus menjadi sahabat David
selamanya. Namun, mulai beranjak remaja, Abel mulai menyimpan perasaan terhadap
David. Perasaan itu selalu timbul ketika David berada di dekat Abel.
Sementara
David sendiri tidak pernah peka terhadap Abel dan masih menganggap bahwa Abel
adalah sahabatnya. David juga menganggap Abel sama sekali tidak menyukai
dirinya. Ketidakpekaan David berimbas pada sakit hati Abel yang Abel pendam dalam-dalam,
perasaan yang tidak ia ungkapkan, dan rasa suka yang tak terkatakan lantaran
Abel takut hal itu akan menghancurkan persahabatan mereka.
Oke,
oke. Tema beginian udah mainstream
banget di dunia teenfic Indonesia.
Udah menjamur, dan ceritanya gitu-gitu aja. Kadang gue suka herman (baca=heran)
sama teenfic remaja yang nggak pernah
membahas tema lain selain cinta-cintaan alay yang nggak jelas sama sekali dan
bikin gue jijik tujuh puteran.
Inilah
yang berhasil membunuh rasa suka gue terhadap teenfic. Dulu, gue suka banget ama teenfic, tapi sekarang gue buang rasa suka itu jauh-jauh. Ngapain
liatin orang pacaran nggak jelas? Apa faedahnya buat hidup lo?
Oke,
lanjut. Udah cukup nyinyirnya.
Sebenarnya,
premis yang ditawarkan cukup menarik. Namun, apa yang gue temukan? Ceritanya
begini doang? Udah serius, gitu doang? Haelah.
Mari
kita bahas kejanggalan dalam buku ini satu per satu.
Pertama: Sumpah
deh ya, gue nggak habis pikir sama orangtuanya Abel. Di cerita ini, Abel dan
David tinggal satu kos. Hah? Tinggal satu kos bareng cowok? Please. Kalo kata Abel sih, orangtuanya
dia udah percaya banget sama David dan mereka meminta David untuk menjaga Abel.
Tapi, walaupun tinggal satu kos bareng, mereka berdua diawasi oleh dua sepupu
Abel, yakni Kak Maya dan Kak Richard.
Where’s the logic anyway? Meskipun
kamar mereka dipisah––thanks to
Vanesa who separate their bedroom.
Bayangin aja kalo satu kamar. Nanti malah jadi cerita bokep––, tapi tetep aja
nggak menyangkal kemungkinan jika ini ganjil banget. Dan juga, gue heran kenapa
David sama sekali nggak memendam gairah seksual terhadap Abel. Meskipun katanya
David itu baik banget, tapi coba dipikir-pikir.
Namanya
juga cowok. Tinggal satu kos sama Abel udah lama banget. Masa nggak ada gitu
hasrat untuk “nganu”? I know, this is
kinda explicit. Tapi, nggak ada manusia yang nggak memiliki hawa nafsu,
sekalipun itu cewek. Cerita ini seolah nggak memiliki logika, terutama di
bagian psikologis.
Kedua: Alur
cerita! Ya, gue tau ini alurnya bagus. Kalo alurnya jelek, kenapa bisa masuk
jajaran best seller? Kenapa bisa
dibaca lebih dari tujuh juta kali di Wattpad?
Oke,
gue sangat tertarik dengan alur cerita yang lumayan bikin gue baper, gregetan,
dan gemes. Premis yang ditawarkan juga cukup menarik dan sesuai, karena cerita
ini ditargetkan untuk remaja. Namun …. Percaya atau nggak, cerita ini masuk
kategori “alay” dalam kepala gue. Why? Alangkah
lebih baik kalau ceritanya lebih berfokus dengan hubungan Abel dan David yang
lebih mendalam. Tapi, di sini hubungan friend
zone mereka seolah cuman jadi bumbu doang.
Apa
yang gue temukan? Cerita hepi-hepi dan kehidupan hedon ala anak ABG. Abel dan
teman-temannya diceritakan adalah anak dari keluarga kaya. Ayah Abel adalah
pemilik kos yang ditempatinya bersama David. Bayangin coba, bahkan David, Finn,
Steven, Axel, dan Carlos punya mobil sport
breh. Ke mana-mana pake mobil sport.
Berlatar
belakang dari keluarga kaya sih nggak apa-apa. Tapi, kehidupannya? Abel yang meni-pedi
bareng Lunetta, Abel yang makan di restoran western
bareng David, Abel yang bolak-balik ke Starbucks bareng David, Finn, Steven, dan
Axel, serta mengerjakan tugas bareng Carlos di Starbucks. Apa tempat-tempatnya
nggak kurang keren? Seolah-olah itu kantong nggak pernah tipis.
Cerita
yang seharusnya bisa dibingkai lebih menarik dengan menggunakan premis tadi,
ini malah dipenuhi dengan kehidupan hedon ABG kaya yang kesannya dibikin cuman
buat banyak-banyakin halaman doang.
Ketiga: Tokoh
David Lucian yang bikin mengerutkan kening. Di sini, dikatakan bahwa Abel
menyukai David sejak SMP, tetapi David nggak pernah peka hingga Lunetta
memberitahu David tentang perasaan Abel yang sebenarnya. Yang bikin gue bingung
adalah, ketidakpekaannya. Banyak yang bilang kalo cowok itu emang nggak peka
karena mereka lebih mengandalkan logika ketimbang emosi. Yap, itu memang bener.
Tenang, gue juga nggak sepeka cewek lain kok wkwkwk.
Namun,
coba pikir sekali lagi. Ada banyak tokoh cowok di sini. David Lucian, Finn,
Steven, Axel, dan Carlos Sebastian. Dan dari semua cowok itu, hanya David yang
nggak peka, padahal dia yang paling dekat sama Abel. Kenapa bisa begitu? Padahal,
semua tokoh cowok itu peka loh kalo Abel suka sama David. Kenapa David nggak?
Dari
segi psikologis, tokoh David memang patut dipertanyakan. Sekalipun David adalah
cowok, tapi ingat, boys are human too. They
DO have a feelings. Rasanya, emosi David agak sumbang, karena dia nggak
peka sama sekali. Oh, c’mon. David jadi
kayak bukan manusia di sini.
Keempat: Carlos
Sebastian looks interesting as an
antagonist, but he’s kinda make me confuse. Please, is he a ghost or a human? Tokoh
Carlos adalah antagonis utamanya di sini. Sebenernya, menurut gue dia nggak
jahat, dia cuman sakit hati. Dan lagi-lagi, menurut gue Carlos ini adalah
korban ketidakpekaannya si David. Gimana nggak jadi korban? Katanya, Carlos
curhat kalo dia suka sama cewek bernama Chelsea ke David. Tapi, pada akhirnya
Chelsea justru pacaran sama David, bukannya sama si Carlos. Korban udah mulai
berjatuhan, tapi kenapa David masih segitu santainya?
Oke,
bukan itu poin pentingnya. Gue rada bingung sama Carlos. Karena, rata-rata
tokoh antagonis di cerita/film itu adalah orang yang selalu muncul (atau paling
nggak kehadirannya dapat dirasakan pembaca) dan selalu berusaha menjatuhkan si protagonis.
Namun, Carlos? Kemunculannya hilang timbul. Hanya muncul di beberapa saat-saat
tertentu, sementara Abel dan David masih bisa hidup tenang meskipun Carlos udah
pindah ke sekolah mereka?
Hilang
timbul. Datang tak diundang, pulang tak diantar. Kayak Jelangkung. Dia hanya
muncul pada saat pindah ke sekolah Abel dan mengerjakan tugas bersama Abel di Starbucks,
lalu ketemu dengan Abel saat Carlos meminta Abel menemaninya untuk mencari
komik, dan terakhir pas klimaksnya, yakni saat Carlos menabrakkan mobilnya ke
pohon bersama Abel untuk membalas dendam ke David melalui Abel.
Abel
pernah ngomong ke David kalau Carlos sering neror dan stalking dia lewat medsos, tapi teror itu nggak pernah diungkap
sepanjang cerita. Alangkah baiknya kalau teror dari Carlos diungkap sepanjang
cerita, biar seru gitu. Lah, orang sepanjang cerita isinya cuman hangout doang, gimana mau nampilin
terornya si Carlos coba? Jadi, kesan “stalker
bermuka dua” si Carlos nggak nonjol.
Gue
tau, nggak semua tokoh antagonis itu adalah ketua cheerleader dan ketua mading yang brengsek, bos mafia yang
berbahaya, psikopat yang haus darah, atau pangeran kegelapan bengis yang nggak
segan mencabut nyawa siapa pun. Tapi, seenggaknya, tokoh antagonis harus
digambarkan lebih menonjol, biar nggak terkesan sebagai tempelan doang.
.
.
.
.
.
Setelah
sekian banyak kritik pedas dan gamblang dari gue, sebetulnya gue suka buku ini.
Gue baca ini hampir tiap hari. Dan sebetulnya, gue jatuh cinta. Hanya saja,
karena ceritanya yang “aneh”, jadi gue rada kurang sreg gitu. Padahal,
ceritanya udah bagus, loh.
Gue
mengapresiasi penulisnya yang masih muda, tapi udah bisa nerbitin buku best seller begini. Selain itu,
sebenernya cerita ini cocok dan cukup recommended
bagi para remaja yang mencari sensasi baper. Hanya saja, bagi yang punya jalan
pikiran yang rumit dan dalam, gue sangat tidak merekomendasikan buku ini. Bisa-bisa
kalian kecewa nantinya.
.
.
.
.
.
Akhir
kata, review ini sudah selesai. Gimana?
Seandainya cerita ini dibuat lebih menarik, pasti bakalan keren banget. Kapan-kapan,
gue akan kembali dengan review
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar