Halo, semuanya! Nanti, setelah cerita Dixa's Battle Series tamat, aku bakal comeback dengan cerita baru yang berjudul Eternal Hostility. Ya udah, daripada kelamaan, langsung dimulai aja, ya.
5 HARI YANG LALU...
Aku sangat kelaparan malam ini. Pantas saja aku kelaparan. Karena aku belum makan nasi dari tadi pagi dan hanya mengganjal perutku dengan sepotong roti isi keju. Itu lumayan untuk menghilangkan rasa lapar yang menyiksa sebelum berangkat menuju lokasi kebakaran daripada harus kelaparan di tengah tugas yang menyedot tenaga.
Oleh karena itu, malam ini juga aku akan keluar dari pos pemadam kebakaran tempatku bekerja untuk mencari makanan. Jangan anggap aku seperti hewan nokturnal yang mencari makan di malam hari, sementara di siang hari hanya melamun dan bermalas-malasan. Aku pun beranjak keluar dan merasakan udara yang benar-benar dingin.
Aku berjalan menuju kedai makanan cepat saji sambil melipat tangan di depan dada karena kedinginan. Kenapa aku tidak memakai jaket saja tadi? Akhirnya, aku menemukan sebuah kedai makanan cepat saji di pinggiran jalan. Aroma sedap dari masakan menyeruak ke udara, membuat perutku tambah keroncongan saja.
Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke kedai dan memesan nasi omelet. Sederhana sekali, padahal ada pilihan yang lebih menarik, yakni ayam bakar kecap. Namun, nasi omelet adalah menuku setiap hari. Tiba-tiba...
"AARRGGHH!" terdengar suara erangan keras seorang pria. Seluruh pengunjung menoleh, namun mereka tak tahu di mana asal suara itu. Nafsu makanku langsung menghilang setelah mendengar teriakan itu. Aku langsung meninggalkan makananku dan membayarnya dengan harga pas. Aku berlari keluar dari kedai, tak peduli dengan udara dingin yang akan menghajarku.
BUAK!
BAG-BUG! DUSSHH…
Suara
pertarungan terdengar jelas sampai bisa meredam suara knalpot motor anak-anak
remaja yang melintas di belakangku dan mengejekku.
“Woy,
sedang apa kau di sini?!”
“Pulang
saja kau! Kau mencari hantu, ya?!”
“HAHAHA…”
ejekan itu disambut dengan tawa puas anak-anak remaja sialan itu. Namun, aku
hanya diam saja.
“Persetan,
siapa peduli?” gumamku. Di sebuah gang kecil, sepertinya di situlah asal
pertarungan dan suara erangan tadi. Aku memasuki gang kecil yang gelap gulita
tanpa seberkas cahaya pun. Aku menyusuri gang itu hanya bermodalkan lampu
senter dari handphone-ku.
Tiba-tiba
saja, keadaan menjadi sunyi. Suara pertarungan itu berhenti. Aku masih berjalan
menyusuri gang semakin dalam. Namun, saat sampai di ujung gang buntu ini, aku
mencium bau anyir yang sangat kuat dan membuatku benar-benar muak. Sambil menutup
hidung, aku menyorot ujung gang itu.
“AAAAKKKKHHHH!”
jeritku. Seketika itu juga baterai handphone-ku habis dan lampunya jadi mati.
Apa yang barusan kulihat? Batinku sambil melangkah mundur. Tidak, ini bukan halusinasi, ini kenyataan. Ini
nyata, dan itu sangat mengerikan! Aku menjerit-jerit dalam hati. Yang barusan
kulihat sangatlah mengerikan.
Mayat
seorang pria yang sudah tidak utuh lagi. Darah membasahi ujung gang itu. Ususnya
terburai, jantungnya menghilang. Dan daging-dagingnya berserakan di sekitar. Suara
kunyahan masih terdengar jelas. Kunyahan? Apakah seorang kanibal sedang
memangsa pria itu mentah-mentah?
Tidak,
gigi taring manusia bahkan tidak setajam taring kucing. Manusia tak mampu
merobek daging semudah itu. Aku barusan melihat siapa yang memangsa pria itu
dengan sadis.
Sosok
mengerikan bertubuh besar dengan tinggi 2.5 meter. Gigi-giginya yang tajam
tengah merobek-robek tubuh pria itu. Tubuhnya yang dipenuhi bulu hitam yang
lebat kini telah basah oleh darah. Dan matanya yang berwarna merah darah tengah
menatap tajam kepadaku.
Tatapan membunuh disorotkan
kepadaku.
Bulan
purnama pun muncul dan menerangi sosok itu.
“Ah…
tidak… kau… kau… WEREWOLF!” pekikku ketakutan. Aku langsung berlari sementara
werewolf itu melompat dan melolong menghadap bulan purnama.
“AUUU…”
BERSAMBUNG…